23. RUMAH DEAN

247 37 19
                                    

Warning! Part panjang dan banyak narasi (⁠◡⁠ ⁠ω⁠ ⁠◡⁠) Typo-nya, kakak, ingetin ya 🙌

~✨~

Pagi itu Dean mendapat telepon dari rumah. Kata Bi Indah-salah satu asisten rumah tangga di rumahnya, Ibu sakit dan terus menyebut nama Dean. Untuk itu Dean bergegas pulang ke rumah, saking tergesanya, ia bahkan lupa berpamitan dengan yang lain.

Dean tak bohong jika ia khawatir. Meskipun ibu selalu memaksanya, hanya peduli dengan nilainya, hanya peduli dengan rasa gengsi dan hanya peduli dengan suaminya. Tapi bagi Dean, ibu tetaplah ibunya, wanita yang melahirkannya. Jadi, sebenci dan sekecewa apapun ia terhadap ibunya, tapi ia tak akan pernah bisa melihat ibunya sakit.

Setengah jam perjalanan menuju ke rumahnya, ia bisa melihat penjaga gerbang yang sudah membukakan gerbang untuknya. Ia mengangguk dan mengukir senyumannya untuk sekadar menyapa para penjaga. Ia memang dikenal sebagai anak yang ramah oleh para karyawan di rumahnya.

Setelah memarkirkan motor di halaman rumah, ia berjalan dengan tergesa menuju ke pintu utama. Ia segera membuka pintu dan kedatangannya langsung disambut oleh dua asisten rumah tangga yang salah satunya ia panggil dengan sebutan Bi Indah.

"Bi Indah, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Dean dengan raut wajah khawatir.

Sementara, perempuan paruh bayah itu menundukkan kepala. "Maaf Tuan Muda ... sebenarnya ..." Bi Indah mencuri pandang ke arah ruang tamu. Raut bersalah dan ketakutan jelas tercetak di sana, membuat Dean mengernyitkan dahi bingung.

"Oh, masih peduli sama Ibu kamu?" Suara yang terdengar dari ruang tengah itu mampu membuat Deam menoleh. Matanya membulat sempurna, tapi hanya sekian detik sebelum ia mengerti keadaan saat ini.

Dean kembali menatap Bi Indah sejenak, ia menipiskan bibir saat melihat raut bersalah dari wanita paruh bayah yang ada di hadapannya itu. "Gapapa, Bi Indah. Saya ngerti kok," ucapnya tulus.

"Maaf, Tuan Muda ..." lirih Bi Indah yang mendapat anggukan dari Dean.

Setelahnya, Dean memutuskan untuk melangkah menuju ke ruang tamu. Di sana, ia melihat ibunya yang sedang duduk bersantai di sofa dengan majalah yang ada di tangannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa wanita itu sedang sakit. Satu sisi Dean lega bahwa ibunya masih diberi kesehatan, tapi di sisi lain ia jelas kecewa karena dibohongi.

"Dean lega Ibu baik-baik aja," ucap Dean sembari menyalami wanita yang melahirkannya itu. Ia mencoba untuk tersenyum.

Desi-Ibu Dean-menutup majalahnya dan menyuruh anak sematawayangnya itu untuk duduk di hadapannya. "Bagus, tiga bulan nggak pernah pulang. Ditelpon selalu nggak diangkat. Mau jadi pembangkang kamu?" sinisnya.

Dean menghela napas lelah. "Ibu tahu alasan Dean ngelakuin hal itu," lirihnya.

"Apa susahnya nurutin kemauan Ibu sama Papa? Kamu tinggal pindah ke Jerman, kuliah di jurusan yang tepat, uang tinggal terima, kamu jadi penerus Papa di perusahaan. Masa depan kamu bakal cerah, Dean. Ibu begini juga untuk kebaikanmu."

Dean menundukkan kepala, mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut ibunya. Kalimat yang sudah sangat ia hafal, sampai ia muak sendiri mendengarnya.

"Mana Dean yang penurut? Mana Dean yang nggak pernah sama sekali membantah ibu? Mana Dean yang dulu? Apa karena temen-temenmu di kosan kumuh itu bawa pengaruh buruk sampai kamu jadi Dean yang kayak gini?!"

"Bu, jangan bawa temen-temenku!" tekan Dean yang jadi mengangkat kepalanya, membalas tagapan Desi. Sudah cukup, ia tak bisa menahannya lagi.

"Seharusnya Dean yang tanya itu ke Ibu. Mana Ibu yang perhatian sama Dean? Mana Ibu yang selalu minta pendapat Dean dulu sebelum mutusin sesuatu? Mana Ibu yang dulu?! Dean juga capek, Bu, dipaksa terus. Dean pengen ngelakuin sesuatu yang Dean suka. Dean nggak mau megang perusahaan Om Bian, Dean nggak minat, Bu!" ungkap Dean dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah berkali-kali ia mengungkapkan keinginannya itu, tapi tetap saja Ibunya selalu acuh.

Wish's Home 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang