24. PENYESALAN

305 43 22
                                    

Pagi hari telah tiba. Dean masih terbaring di kasurnya. Demamnya semakin parah. Anak itu terus meracau, menyebut nama penghuni Wish's Home berkali-kali, menyebut nama Ayah, dan terus berucap bahwa ia tak ingin pergi ke Jerman seperti keinginan Ibunya.

"Gimana, Ma? Keadaan anak kamu nggak memungkinkan buat kita bawa terbang ke Jerman," tanya Bian yang tengah bersandar di ambang pintu dengan tangan yang bersedekap dada.

Desi yang sedang duduk di bibir kasur Dean menghela napasnya, ia memandang Dean yang tengah dikompres oleh Bi Indah. "Kalau bukan hari ini kapan, Pa? Anak ini terlalu keras kepala."

Lelaki setengah baya yang berstatus sebagai suami Desi itu mendengus. "Enam belas jam perjalanan itu bukan waktu sebentar, yakin anakmu nggak makin parah itu? Lagian anakmu itu tidak bisa diandalkan. Nyusahin aja."

"Pa, ini anak aku loh. Anak kamu juga. Jangan ngomong gitu!" kesal Desi. "Kalau bukan Dean, siapa lagi yang mau nerusin perusahaan kamu?" lanjutnya kemudian. Ia menatap suaminya dengan kening mengerut.

Bian lagi-lagi hanya mendengus, ia terkekeh sinis. "Salah kamu yang nggak mau punya keturunan lagi."

Desi menatap suaminya tak percaya, padahal mereka sudah sepakat tak membahas hal itu lagi. "Mas, aku udah nggak bisa. Kamu tahu itu!" desis Desi yang membuat Bian menghela napasnya kasar.

"Iya, tahu. Maaf, aku emosi. Sekarang terserah kamu mau gimana. Toh, anakmu kalau nggak ngelakuin dengan sepenuh hati, yang ada perusahaan yang kubangun dari nol akan bangkrut. Kalau anakmu nggak mau, nggak usah dipaksa, aku punya orang kepercayaan."

"Maksud, Mas, apa?" Kerutan bingung tercetak jelas di dahi Desi. Ia menatap suaminya, menuntut penjelasan.

Bian mendekat, ekspresi datarnya ia tunjukan ke anak tirinya yang masih terbaring lemah di sana. "Dari awal, aku sudah nggak yakin sama anakmu. Dia punya prinsip sendiri. Aku udah pernah bilang sama kamu buat ngelepas anak itu, tapi kamu bersih keras buat anakmu masuk ke perusahaanku."

Bian berganti menatap istrinya, "Ma, nggak semua bisa dipaksain. Aku tahu kamu malu dengan keluargaku, mereka menekanmu karena hanya anakmu, anak kita, yang tidak dibidang bisnis. Kamu tahu gimana rasanya tertekan, tapi kamu justru menekan anakmu sendiri."

Desi menundukkan kepala, ia mendengarkan dengan saksama setiap kata yang terucap dari suaminya. Ia bingung, ia marah, tapi di sisi lain, ia bertanya-tanya, "Apa selama ini ia salah?" Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar.

"Selama ini aku diam, karena aku kira seiiring berjalanannya waktu dengan anakmu yang terus menjauh darimu, kamu akan sadar bahwa tindakanmu salah. Tapi ternyata aku yang salah, kamu justru semakin membuat anakmu menjauh." Bian kembali menghela napasnya, ia mengusap lembut pucuk kepala istrinya.

"Ma, aku pernah berada di posisi seperti anakmu. Kamu tahu lebih dari siapapun itu. Aku tidak akan ikut campur, kamu selesaikan sendiri dengan anakmu. Aku cuma mau minta maaf atas sikap keluargaku ke kamu. Maaf ya, belum bisa jadi suami yang bisa melindungimu." Bian membawa istrinya ke dekapannya. Desi sendiri sudah menitikkan air mata, ada rasa bersalah dan menyesal yang bercampur menjadi satu.

Sementara, Bi Indah yang sedari tadi sibuk merawat Dean hanya berpura-pura tak melihat apapun. Ia sudah terbiasa dengan pasutri yang tidak tahu tempat itu. Namun, ia jadi tersenyum senang saat menatap wajah Tuan Mudanya. Setelah ini ia berharap Tuan Mudanya dapat menjalani kehidupan tanpa perlu tekanan.

Lain dengan Bi Indah, lain lagi dengan Dean. Dalam tidurnya, anak itu menahan mati-matian agar tak menitikkan air mata. Sesungguhnya, sejak sepuluh menit yang lalu, ia sudah sadar. Tapi saat mendengar suara Ibu dan Ayah tirinya, ia memutuskan untuk tetap dalam posisinya. Lagi pula ia sama sekali tak minat membuka mata dan menemukan wajah mereka berdua.

Wish's Home 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang