"Iya ya, aneh banget tuh anak. Bisa-bisanya deket sama kita lagi cuma buat bilangin ini," balas Zell sambil mengerutkan kening menatap lantai dan mengangguk-angguk. Pertanyaan itu coba ia cerna dalam otaknya.
"Emang sama-sama aneh!" ejek Valda dengan nada tinggi. Sengaja, supaya Tya yang berada di kelas sebelah terdengar.
"Asal kalian tau ya. Nih gue spill, kenapa gue bisa temenan sama dia, dan apa yang gue rasain ke dia." Ucapan Dewi langsung membuat atensi keempatnya temannya penuh menatap padanya.
"Jadi, sebenarnya waktu awal masuk sekolah sini, si Kira duluan yang ngedeketin gue. Entah cuma perasaan gue aja atau gimana, tapi dia ngedeketin, setelah gue bisa jawab banyak pertanyaan matematika waktu itu. Gue sama dia sebenarnya gak seberapa nyaman ya, karena ternyata emang omongannya tuh suka ngawur. Gue sering di olok-olokin, tapi katanya niat bercanda. Lama kelamaan gue makin ngerasa males kan kalau harus di pojokin terus. Selama itu juga, gue sama sekali gak pernah anggap dia sahabat. Topik yang gue bahas sama dia gak pernah yang rahasia," jelas Dewi dengan ekspresi yang semangat menggebu-gebu.
"Yaelah .., jadi si Kira cuma manfaatin lo aja kayanya," balas Valda sambil menunjuk cewek disampingnya yang kini menjadi sahabat.
"Betul itu! Emang gak salah ya temen sekelas, dia itu kalo ngomong suka ngawur!" seru Gisa sambil menjentikkan jari.
"Iya! Rasanya kayak nyakitin diri sendiri kalau temenan sama dia," cerca Dewi seraya memukul kursi yang membuat temannya tersentak. Ia menjadi bahan pukulan temannya.
"Malu gak sih kalau jadi dia? Orang dia doang yang anggep lo sahabat. Mana sifatnya begitu." Leora tersenyum miring.
"Ogah banget gue sahabatan sama orang begitu!" ejek Dewi sambil mengibaskan rambutnya dan beranjak membuang sampah. "Ada yang nitip?"
"Kira sama Tya aja sono buang ke sampah. Gak penting amat!" cela Valda lalu terkekeh.
"Gak cukup sampahnya. Langaung buang ke TPA aja," kelakar Dewi santai, namun benar-benar berhasil membuat temannya tertawa terbahak-bahak.
"Gak nyangka gue, Tya cocok sama Kira karena punya sifat yang sama-sama aneh," ucap Gisa sambil bersedekap.
"Kira nya sih, bukan Tya," jawab Leora seraya menaikkan satu alis.
Bel masuk berbunyi, mereka mendecih karena otaknya akan bekerja lagi. Dengan malas, mereka melangkah masuk ke ruangan yang sama. Siapa sangka, absen Gisa, Leora, dan Zell berurutan. Jadi, mereka duduk sejajar. Sedangkan Dewi dan Valda tersela oleh 1 anak. Guru pengawas tidak kunjung tiba, namun ada 4 kakak kelas cowok berlari memasuki kelas.
"Siapa gurunya?" tanya kak Fay yang sebangku dengan Valda.
"Gak tahu," jawab kak Pablo sambil tersenyum miring. Sebuah tempat pensil melayang tepat di pundak dari cewek di belakangnya. Kak Pablo merintih.
"Gak usah bercanda! Materi nya susah ini!" pekik cewek itu dengan wajah yang sangat kesal.
"Apaan sih! Pakai mukul segala. Santai aja bisa gak?" omel kak Pablo nyolot.
"Lo beritahu atau gak dapet contekan?" tawar kak Deani sambil melayangkan lagi tempat pensil itu.
"Guru PJOK. Santai aja, gue bisa banyak dapet contekan dari lo nanti," ujar kak Pablo sambil menaik turunkan alis.
"Ogah!" tegas kak Deani seraya mendorong tubuh kak Pablo.
Guru paruh baya yang rambutnya sudah mulai putih, tinggi, kurus, namun tubuhnya masih tegak dan sehat, tengah melepas sepatunya di depan kelas. Senyum para siswa merekah, karena ini bisa disebut sebagai surga dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond Crack
Teen Fiction[Update : Every weekend] -Berlian bersinar bagai kebahagiaan dalam kompaknya sebuah pertemanan. Sinar itu semakin redup, hingga retak, karena kerenggangan mereka- Leora mengedarkan pandangan ke sekeliling lautan manusia ber baju putih biru yang teng...