12. warm and cold

669 59 21
                                    

do i wanna know?
if the feeling flow both way

"Jangan lihat!" Arawina menutup kode akses apartemen dengan tubuhnya dan kedua tangannya.

Melihat tingkah sang gadis membuat Kaivan berdecak. Ia memutar bola matanya lalu mencibir. "Siapa juga yang mau liat?" dengusnya sambil menengadahkan kepala untuk menghindari melihat Arawina memasukan kode akses apartemen.

Begitu pintu terbuka, Arawina masuk lebih dulu. Dengan tubuh sempoyongan ia berusaha membuka sepatunya sambil mempersilakan Kaivan masuk. Namun bukannya berhasil melepas sepatunya, Arawina malah hampir jatuh. Untung saja Kaivan yang berdiri di belakangnya dengan sigap menahan tubuh sang gadis.

"Minta tolong aja apa susahnya, sih?!" omel Kaivan.

Tanpa diduga pria itu berjongkok tepat di kaki Arawina dan membantu sang gadis melepas pengait sepatunya. Jatung Arawina tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ia hanya memperhatikan Kaivan yang sedang membuka pengait sepatunya dengan pikiran yang melayang.

Ini udah nggak biasa. Kaivan udah nggak normal. Batin Arawina bergumam.

"Done," gumam Kaivan begitu selesai melepas kedua sepatu Arawina.

"Makasih," balas Arawina sekenanya. Pikirannya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Masih sakit banget?" tanya Kaivan sambil mengantisipasi jika tubuh sang gadis kembali sempoyongan. "Perlu aku beliin sesuatu? Obat atau makanan mungkin?"

Setelah sepatunya terlepas, Arawina melepas jaket dan tasnya. Ia kemudian menjatuhkan diri di sofa ruang tengah. Satu tangannya terus memegang perut bagian bawah yang memang terasa seperti diremas dan dipukuli. Di sisi lain, Arawina merasa kepalanya juga berputar. Bulir keringat terus muncul dari dahi sang gadis.

Sepanjang acara, Arawina berusaha untuk tidak menggubris kram menstruasi yang sedang melandanya. Ia sempat minum obat pereda nyeri sebelum acara dimulai. Setelah itu rasa sakitnya cukup mereda. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kram dan mual yang berasal dari perutnya kembali menyerang tidak lama kemudian. Ditambah rasa pusing yang menambah siksaan bagi Arawina.

Kaivan berjalan menghampiri Arawina yang sedang terduduk lemah di sofa. Pria itu berinisiatif untuk memperbaiki posisi sang gadis agar berbaring. Tidak lupa Kaivan memposisikan bantal di kepala sang gadis agar lebih nyaman.

"Aku ambilin air hangat gimana? Bakal membantu nggak?" tanya Kaivan. Pria itu kebingungan apa yang harus dilakukannya. Ia tidak tahu bagaimana cara merawat orang yang sedang kram menstruasi apalagi mengobatinya.

Arawina menggeleng. Ia kemudian menunjuk sebuah laci dan berkata, "Ambilin heating pad aku di dalam laci itu."

Kaivan menurut. Ia segera beranjak menuju laci dan mencari barang yang disebut Arawina. Pria itu kemudian berinisiatif untuk membantu Arawina memasangkan benda itu di perutnya.

"Better?" tanya Kaivan begitu heating pad sudah berhasil terpasang.

Arawina menggeleng pelan. Matanya setengah terpejam. "Not yet. But I'll be fine," desahnya.

"Kamu udah makan?" Kaivan bertanya lagi.

Arawina menggeleng.

"Ini udah jam berapa, Ra," omel Kaivan. "Ayo makan dulu. Mungkin kamu sakit juga karena telat makan."

"Nggak pengen makan, Van." Arawina kemudian meringis pelan menahan sakit yang tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. "Sshh."

Wajah Kaivan berubah panik dan bingung. Setelah ini ia berjanji pada dirinya sendiri akan mencari tahu bagaimana caranya meredakan kram perut karena menstruasi. Jujur saja, Kaivan tidak pernah berurusan dengan hal seperti ini. Ia bahkan tidak pernah tahu menstruasi bisa menyebabkan kesakitan seperti yang dialami Arawina.

Daddy I Hate HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang