29. if only

383 62 13
                                    

i put too much on myself thinking i don't deserve what i've earned

"Kamu sakit?" tanya Kaivan pada Arawina saat keduanya sedang dalam perjalanan menuju kediaman utama keluarga Nataprawira untuk mengunjungi Yudhi Nataprawira.

Sejak kemarin Kaivan merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Arawina. Saat Kaivan menemuinya kemarin di apartemen, Arawina lebih pendiam dan tidak seceria saat ia menceritakan kegiatannya lewat telepon di Bandung. Lalu hari ini juga Arawina terlihat lebih murung.

Arawina menggeleng menjawab pertanyaan Kaivan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah kaca, memperhatikan jalanan di luar mobil yang ramai oleh kendaraan.

"Aku buat salah ya?" tanya Kaivan lagi. Biasanya jika seorang perempuan tiba-tiba mogok bicara, sebenarnya ia sedang menyimpan kekesalan.

Arawina kali ini terdiam. Gadis itu tidak menjawab namun tidak juga menyanggah. Hal itu membuat Kaivan yakin kalau dia melakukan sebuah kesalahan. Tapi apa? Apa yang dilakukannya hingga membuat gadis itu marah?

Kaivan mencari ingatannya. Ia tidak mengejek atau mengritik Arawina, tidak juga menggodanya. Kaivan juga menemuinya begitu sang gadis kembali ke Jakarta. Apa kira-kira yang Arawina pikirkan?

"Ya udah aku minta maaf," ujar Kaivan mengalah. Ia mungkin tidak tahu di mana letak kesalahannya. Namun lebih baik ia mengakuinya lebih dulu daripada terus melihat Arawina memusuhinya. Kaivan merindukan senyuman dan rengekan gadis itu, bukan wajah murungnya.

"Memang kamu tahu salah kamu apa?" tanya Arawina ketus.

Mengangkat kedua bahunya, Kaivan menggeleng. "Apa pun itu tapi aku udah bikin kamu ngambek kayak gini. Berarti kesalahan aku serius."

Kaivan melirik sang gadis di sampingnya. Gadis itu tidak lagi merespon. Ia hanya mengulum bibir sambil kembali mengalihkan pandangan ke arah jendela.

"Dimaafin, nggak?" Kaivan masih berusaha merajuk.

"Nggak tahu!" ketus Arawina masih dengan pandangan yang fokus ke jendela di sampingnya.

Kaivan menghembuskan napas dengan kasar. "Aku salah apa sih, Ra? Aku ada salah ngomong? Apa karena aku kurang peluk kamu? Ya udah sini aku peluk lagi!" Ia mengulurkan tangan kirinya ke arah Arawina.

"Ih, apaan sih!" Arawina segera menepis tangan Kaivan. "Memangnya aku anak kecil yang marah hanya karena masalah sepele?"

"Ya terus apa dong?!" erang Kaivan menyerah untuk menebak-nebak.

"Dengan kamu merasa bingung aja berarti kamu nggak menganggap apa yang kamu lakukan itu sebuah kesalahan," ujar Arawina ketus. "Lupain aja. Nggak usah dibahas."

Kaivan ingin terus mencari tahu apa yang membuat Arawina uring-uringan. Tapi tidak lama mobil Kaivan masuk ke dalam garasi kediaman Nataprawira. Arawina segera turun dari mobil dan berjalan masuk. Hal itu membuat Kaivan cepat-cepat menyusul langkah gadisnya.

Jantung Kaivan berdetak dua kali lebih cepat seiring dengan langkah kakinya menuju kamar ayahnya. Masalah Arawina yang sedang marah padanya seakan terlupakan. Pikirannya seketika penuh dengan bayang-bayang dari masa lalu.

Bertahun-tahun, Kaivan tidak pernah berjalan ke lantai dua rumah itu. Setiap menaiki anak tangga, ingatan Kaivan kembali melayang ke masa lalu. Kepalanya memutar memori-memori buruk saat ia dulu tinggal di rumah itu.

Bentakan kasar ayahnya, saudaranya yang tidak membantu Kaivan saat ia dimarahi ayahnya, ibunya yang menangis melihat ayahnya memarahi Kaivan. Ingatan itu memenuhi kepala Kaivan. Tidak sadar Kaivan berhenti melangkah di pertengahan anak tangga.

Daddy I Hate HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang