02. morning disaster

1.1K 83 17
                                    

look what you've done
i'm a motherfuckin' starboy

Kedua iris Abiyya terus memperhatikan seorang pria yang duduk di hadapannya dengan lekat. Pria itu mungkin lebih muda dari ayahnya. Wajah pria itu sudah mulai berkeriput di sana sini. Rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian. Hanya saja ekspresi pria itu tetap mengitimidasi.

Namun Abiyya tidak gentar. Abiyya tahu pasti siapa pria itu.

Bastian Jovanka. Pemilik bisnis Grup Jovanka yang bergerak di bidang media. Hanya saja Abiyya tahu bisnis pria itu sedang berada di ambang kebangkrutan.

Dari yang Abiyya dengar, satu per satu media cetak Grup Jovanka gulung tikar. Kini media digitalnya pun bernasib sama. Belum lagi kesalahan bisnis membuat perusahaan itu terjerat hutang cukup besar kepada para investor.

Tapi pagi ini, bukan itu yang jadi masalah utama. Abiyya tidak peduli jika perusahaan itu bangkrut sekalipun. Ia tidak ada hubungan dengan perusahaan tersebut.

Begitu juga dengan Bastian Jovanka. Pria itu datang bukan untuk membicarakan nasib perusahaannya. Bastian Jovanka datang untuk memeras keluarga Nataprawira.

Di meja antara Abiyya dan Bastian tergeletak sebuah amplop cokelat dan flash disk. Abiyya sudah melihat isi dari amplop tersebut. Ia tidak perlu melihat apa yang ada di dalam flash disk untuk mengetahui isinya. Maka dari itu ia segera menghubungi Kaivan. Sialnya, adiknya itu sulit dihubungi sejak pagi.

"Saya tidak punya banyak waktu," ujar Bastian melirik arlojinya. Nada suaranya dingin. Matanya tetap seperti elang yang melihat Abiyya sebagai mangsa empuk. "Kamu pikirkan tawaran saya barusan. Waktunya hanya sampai besok."

Pria itu lalu bangkit dari duduknya dan melenggang pergi.

Darah Abiyya mendidih. Hari masih pagi tapi ia sudah dihadapkan masalah besar yang mengancam perusahaan juga keluarganya. Ditambah pelaku utama dari masalah ini menghilang dan susah dihubungi.

Tidak lama ponsel Abiyya berdering. Begitu ia melihat nama Kaivan di layar, segera saja Abiyya menjawabnya.

Setelah memastikan Kaivan akan datang ke kantor, Abiyya merapikan amplop itu dan kembali memasukan isinya. Ia tidak mau orang-orang mengetahui apa isi dari dokumen tersebut.

Hampir empat puluh lima menit kemudian, Kaivan tiba di kantor. Abiyya sudah duduk gusar sejak tadi. Ia ingin segera mencekik leher adiknya itu.

Perangai jangkung adiknya masuk ke ruangan Abiyya dengan wajah yang terlihat menahan kantuk. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya kusut. Abiyya menduga adiknya itu tidak pulang semalaman. Abiyya tidak perlu menduga ke mana dan bagaimana adiknya menghabiskan waktu jika tidak pulang.

Tapi kali ini Abiyya tidak ada waktu untuk memarahi adiknya tentang itu. Ada hal yang lebih penting yang harus dibahasnya.

"Ada apa sih, Mas? Masih pagi udah marah-marah," gerutu Kaivan begitu masuk ke dalam ruangan dan duduk di hadapan Abiyya, di kursi tempat Bastian duduk sebelumnya.

Mata Abiyya memicing. Jika saja matanya bisa mengeluarkan laser, ia sudah menembak adiknya ini dan melenyapkannya dari bumi. Adiknya yang satu ini memang selalu menguji kesabarannya—bahkan saat ayahnya masih sehat sekalipun.

Mengambil amplop cokelat di meja, Abiyya melemparkannya di hadapan Kaivan tanpa suara.

Alis Kaivan terangkat. Ia menerima amplop itu dengan bingung. Dengan gerakan cepat Kaivan membuka amplop cokelat itu dan melihat isinya.

"Itu elo, 'kan?" tanya Abiyya dengan nada tajam.

Kening Kaivan semakin berkerut. Dalam tangannya kini terlihat foto-foto dirinya di sebuah kamar bersama wanita. Jangan tanya apa yang ia lakukan dengan wanita itu.

Daddy I Hate HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang