a lot can change in 20 seconds
a lot can happen in the dark
•Arawina menatap nanar gundukan tanah di hadapannya. Sebuah figura berisi foto ayahnya tersimpan di samping batu nisan. Dalam foto itu ayahnya tersenyum riang, seakan menunjukkan bahwa ia orang yang ramah. Hanya saja bukan sosok ayahnya yang seperti itu yang akan diingat oleh Arawina.
Andai saja ia bisa menghapus kejadian beberapa waktu ke belakang. Andai saja ia bisa menghapus ingatannya tentang kejadian naas malam itu di rumah kakek dan neneknya. Andai saja ia bisa melepas kepergian ayahnya dan mengingat sosok mendiang pria itu sebagai ayah dan suami yang baik. Namun sayangnya ingatan Arawina masih sangat jelas dan rasanya sulit untuk dihilangkan begitu saja.
Kejadian itu akan menghantui Arawina seumur hidupnya.
Sahna dan Riani duduk berlutut di samping Arawina dan merangkulnya. "Jangan sungkan minta bantuan apa pun sama aku ya, Ra. You have me."
"And you have me too," timpal Riani menggenggam jemari Arawina.
Arawina hanya mengangguk kecil sebagai respon. Ia tidak begitu mendengarkan kalimat penghiburan dari kedua temannya karena kepalanya terlalu riuh dengan pikirannya sendiri. Tapi Arawina tahu bahwa kedua temannya tulus untuk membantu.
Untuk beberapa waktu, Sahna dan Riani menemaninya duduk diam menatap makam mendiang ayahnya. Saat Kaivan datang, kedua gadis itu bangkit, membiarkan Kaivan yang duduk di samping Arawina.
Hingga para pelayat pergi pun, Arawina masih terduduk di samping makam ayahnya. Perasaannya campur aduk. Seharusnya ia bisa memaafkan ayahnya, bukan merasa lega karena ayahnya pergi. Hanya saja Arawina mengakui bahwa ia hanya manusia biasa. Apa yang dilakukan ayahnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimaafkan.
Namun sisi lain dirinya merasa bersalah karena membenci ayahnya yang hampir saja membunuh dirinya dan ibunya. Bagaimanapun, ayahnya tetaplah ayahnya.
"Ra, pulang yuk? Udah mendung," ajak Kaivan yang masih setia menemani sang gadis di sampingnya.
Arawina mengangguk bagai robot. Tubuhnya seakan bergerak sendiri karena kepalanya sama sekali tidak bisa berpikir. Jika bukan karena Kaivan yang terus menemaninya, mungkin Arawina sudah tergeletak tidak berdaya di rumahnya tanpa bisa bergerak sedikitpun.
Saat Arawina bangkit, ia melihat Naradipta berdiri di hadapannya. Pria itu terlihat sangat menyesal karena menjadi orang yang menembak ayahnya hingga tewas. Berkali-kali Naradipta meminta maaf. Berkali-kali juga Arawina berkata bahwa itu yang harus dilakukan Naradipta untuk menyelamatkan mereka semua.
"I'm sorry, Ra," ucap Naradipta lagi. Raut wajahnya penuh penyesalan.
"Dipta, berhenti minta maaf. Ini semua udah takdir," balas Arawina pelan. Ia coba memaksakan senyum meski rasanya bibirnya membeku dan sulit digerakan.
Kaivan menepuk pelan bahu Naradipta dan meremasnya. Kaivan coba menghibur sahabatnya yang masih dilanda rasa bersalah.
Ketiganya berjalan menuju tempat mobil terparkir. Naradipta berjalan ke mobilnya sedangkan Arawina menutur Kaivan ke mobil sang pria. Masuk ke dalam mobil, Arawina tidak lagi banyak bicara. Ia memakai sabuk pengamannya dalam diam. Pandangannya melayang jauh ke luar. Tatapannya kosong, tidak tentu apa yang harus dilihatnya.
"Kamu mau ke tempatku atau pulang ke tempat kamu?" tanya Kaivan memberi pilihan.
Arawina menolak keduanya dan berkata, "Aku mau ke rumah sakit."
Kaivan mengangguk. Ia kemudian menyalakan mesin dan memacu mobilnya keluar dari area pemakaman. Ia mengendarai mobil menuju rumah sakit tempat ibu Arawina dirawat karena luka tembak yang dideritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy I Hate Him
RomantikKaivan Nataprawira, playboy dari keluarga kaya Nataprawira harus dijodohkan dengan Arawina Jovanka, gadis baik-baik dan penurut dari keluarga Jovanka. Namanya juga perjodohan, apalagi dengan orang yang tidak dikenal, tentu saja kedua orang itu menol...