42.Sebuah Permintaan

46 2 0
                                    

Ini sudah tengah malam namun ia tetap kembali ke rumah sakit untuk memastikan semua nya lebih baik. Setibanya di sana, suara dari dalam kamar membuat dirinya panik melihat bantal yang terletak di dekat pintu dan satu orang tengah merintih kesakitan.

"KAA! STOP!! DARAH NYA TERUS KELUAR KALAU LO KAYA GINI! KA!!"

Paper bag yang ia bawa terjatuh begitu saja. Kafindra dengan cepat mencoba menahan tangan laki-laki itu agar berhenti memukuli perutnya yang sudah mengeluarkan darah pekat.

Karena tak berhasil menghentikan Arka alhasil Kafindra memencet bell tapi ia juga berlari memanggil suster.

Belum sampai di resepsionis, ia melihat beberapa suster sudah berlari ke arah nya. Mereka masuk dengan peralatan, sementara Kafindra mulai merasa dada nya sesak. Deja Vu yang membuat nya kembali teringat pada sang Ibu.

"Tolong tenangkan diri anda agar luka nya tidak terbuka" Arka tak mau mendengar ucapan salah satu suster.

Tak lama Arlan datang dan melihat situasi ini. Ia membantu Kafindra yang mencoba menahan tubuh Arka yang menolak untuk di obati oleh mereka.

Satu suster lainnya menyuntikkan obat penenang agar laki-laki itu bisa di obati dengan benar. Butuh sedikit waktu untuk menunggu Arka sampai ia benar-benar bisa tertidur. Arlan tak tahu apa yang terjadi karena beberapa jam lalu Arka tidak seperti ini.

"Dia kenapa sebenarnya? Sejak kapan mereka udah nge jahit perut dia, Fin!"

Arlan mulai tidak mengerti dan meminta penjelasan pada Kafindra. Hanya dia? Tidak, sepertinya bukan Arlan saja yang tidak menyadari hal ini sejak kemarin tetapi Adara dan semua nya tidak tahu kecuali Kafindra sendiri.

Mereka bertengkar saat Arka sudah tertidur. Kafindra hanya diam, ia juga tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi pada kakak tiri nya itu.

"Apa yang dokter itu bilang sama lo?"

Arlan mengusap wajah karena frustasi.

"Dzai datang kesini karena lo kan?"

Kafindra masih mencoba menenangkan diri kala deja vu tetap melekat saat ia memandang Arka hari ini. Arlan menunggu untuk jawaban yang akan Kafindra berikan. "Lo nggak dengar?"

"GUE BERHARAP INI CUMA MIMPI!"

Arlan langsung terdiam saat Kafindra mengangkat kepala dan membentak kuat dirinya. Entah apa yang terjadi hingga membuat anak itu menangis.

"Trauma berat pada ginjal akibat benturan keras yang terjadi karena kecelakaan" Kafindra menunjuk Arka.

"Dokter bilang.." Rasanya sulit untuk mengucapkan kalimat selanjutnya.

"Dia bilang kalau ginjal nya rusak parah dan satu-satunya cara terbaik adalah membiarkan Arka hidup dengan satu ginjal untuk sisa hidup nya" Kafindra menunduk menangis lagi sebelum melanjutkan ucapan nya "Ada kemungkinan kecil bisa bertahan"

Tubuh itu seakan ingin jatuh jika ia tidak bertumpu pada tembok di belakang nya. Arlan menyandarkan kepala setelah mengepal kuat jemari nya. Kenapa malah jadi seperti ini? Andai malam itu ia ada di sana untuk mengubah yang harusnya tidak terjadi.

"Gue nggak bisa lagi sembunyikan ini dari semua orang termasuk Papa"

"Gue benci dia karena selalu datang buat nolongin gue tapi lihat, gue malah nggak bisa bantu dia sedikit pun"

Arlan mencoba menahan emosi saat otak nya teringat dengan seseorang. Pukul 23.20 malam ini, laki-laki itu beranjak pergi meninggalkan Kafindra.

Ternyata benar, luka terbesar adalah  luka dari orang terdekat kita sendiri.

ARKA MAVENDRA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang