Menyebalkan.
Sama seperti biasanya.
Melihat para manusia berjalan berlalu-lalang di luar. Dibawah terik matahari yang menyengat.
Aku tidak menyukainnya.
Karena, aku tidak bisa merasakannya.
Aku selalu memakai pakaian tertutup. Baju berkerah tinggi menutupi leher dan juga sarung tangan panjang. Para manusia memang memiliki rasa ingin tahu tinggi. Mereka selalu bertanya mengapa aku memakai pakaian tertutup di tengah-tengah musim panas yang menyengat. Mereka juga mengernyit tidak suka dengan jawabanku dan akhirnya menjauhiku. Seolah aku adalah wabah yang akan menular.
Yah, itu juga tidak sepenuhnya salah.
Sebelumnya, aku biasa mengenakan sarung tangan kulit hitam yang hanya menutupi seluruh pergelangan hingga telapak tanganku—membiarkan jari-jariku tetap terkespos. Tapi, semenjak aku mengambil alih kegelapan yang dilemparkan Cressida pada Lorry. Aku harus memakai sarung tanganku hingga menutupi jari-jariku. Karena, riaknya telah menyebar lebih luas hingga melingkupi semua jari-jariku.
Aku merasa semakin kedinginan.
Pagi ini, aku bahkan harus memakai dua selimut tebal di atas tempat tidurku. Karena, aku tidak berhenti mengigil. Semakin hari, gejalanya semakin parah. Sayangnya, obatku hampir habis.
Aku juga harus mengunjungi Edna.
Lagipula, aku juga memerlukan beberapa bahan untuk melakukan pemanggilan arwah.
Musik instrumental pelan mengalun di sekelilingku. Aku bisa mendengar langkah-langkah yang berjalan mondar-mandir dari lantai dua toko buku tempatku bekerja. Ada empat pelanggan disana.
Sementara empat lainnya ada di lantai pertama—mereka sedang duduk di bangku-bangku yang ada di hadapanku. Mereka semua adalah pelajar manusia yang lebih sering menghabiskan waktu membaca buku dengan sampul yang telah dibuka—daripada membeli bukunya. Jika saja, wanita tua pemilik toko buku ini tidak membiarkan mereka. Mungkin saja, aku sudah mengusir mereka dengan cara lain.
Ini toko buku, bukan perpustakaan.
Apalagi, mereka juga tidak menghargai aku sebagai pekerja disini. Dengan seenaknya, mereka membawa makanan dan minuman dari luar. Aku sudah berkali-kali menegur mereka. Dengan cara lembut, tentu saja. Tapi, mereka malah memberiku tatapan menusuk dan protes, lalu keluar dari toko buku ini dan selanjutnya meninggalkan ulasan buruk pada website toko ini.
Astaga, mereka benar-benar menguji kesabaranku.
Hal terakhir yang kulakukan adalah mengirim beberapa kutukan ringan pada mereka.
Untuk saat ini, mereka beruntung. Beberapa hari ini aku cukup sibuk dengan permasalahanku sendiri. Apalagi, pekerjaan sampingan yang baru saja ditawarkan padaku. Aku menerimanya, karena ini adalah hal yang ganjil sekaligus aneh. Seorang Raja Elf Pembakar dibunuh. Aku sangat yakin, permasalahan ini berhubungan dengan permasalahanku. Lagipula, aku juga dibayar lebih dengan menerima pekerjaan ini.
Pintu kaca toko ini terbuka. Seorang pria berusia sekitar awal empat puluhan melangkah masuk ke dalam toko dengan membawa sebuah map cokelat. Dia memakai kemeja gelap yang digulung dengan berantakan. Langkahnya tergesa-gesa. Wajahnya memiliki rahang tajam, bagian dagunya ditumbuhi janggut hitam dengan kumis tepat di atas bibirnya. Dia langsung melangkah ke arahku. Kemudian, berhenti di depan meja kasir sambil mengulurkan satu tangannya. "Halo, Elle. Aku Drew."
"Senang bertemu denganmu, Drew." Aku menerima uluran tangannya.
"Bisakah kita duduk sebentar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasySemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...