Bab 31: Sebuah Permintaan Maaf

123 20 2
                                    

Selama seminggu berikutnya, aku berusaha menghindarinya.

Beruntungnya, sepertinya dia juga berusaha menghindariku. 

Jadi, penghindarannya terjadi dengan dua arah.

Dan itu sukses.

Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersama Sereia dan Wren. Mereka berdua seperti telah menjadi teman bermainku. Kami pergi jalan-jalan, bermain kartu, dan menghabiskan sisa sore dengan bermalas-malasan. Tubuhku memang bersama mereka, tapi pikiranku sedang berkelana jauh.

Merencanakan pelarian yang sia-sia, tentunya. Atau menyusun skema dimana tempat-tempat yang mungkin saja menjadi tempat persembunyian Renfal.

"Kamu melamun lagi." Wren menggerutu didepanku. Dia telah melemparkan kartunya pada meja di hadapan kami. Aku berkedip cepat dan segera menarik kartuku secara asal, melemparkannya di atas kartu milik Wren. Dia cemberut. "Ini membosankan," Ucapnya sambil menghembuskan desahan napas lelah.

Dia mengatakannya karena dia kalah lagi dariku.

Sereia sedang duduk disampingku sambil menumbuk tanaman kering dengan alu. Serbuk-serbuk halus tanamannya berterbangan disekitarku, hidungku terasa gatal, dan aku harus menahan diri agar tidak bersin karenanya.

"Ini obatmu, Elle." Gumamnya tanpa mendongak dari alunya.

Sepertinya, dia melihat kernyitan hidungku dari sudut matanya. 

Wren menyarankan. "Bagaimana kalau kita menyelinap keluar dan pergi ke bar."

Sereia menggeleng tanpa memandang Wren. "Sepupumu akan membakarmu hidup-hidup jika kamu mengajak Elle keluar tanpa ijinnya." Dia memperingatkan. "Ingatlah, kita disini untuk menemaninnya agar dia tidak kabur."

"Aku bukan tahanan." Ucapku mengingatkan.

Seria menoleh padaku dengan pandangan skeptis. "Lebih tepatnya, kamu pasien yang harus dirawat."

Wren menggeram kesal, "Kalau begitu ada saran?"

Beruntungnya, seseorang telah mengepak semua barang elektronikku, minus ponselku. Aku tahu laptopku tidak akan berguna di alam ini. Tapi, setidaknya beberapa series yang telah aku unduh mungkin berguna. 

Kami bertiga memutuskan menonton film di ruang tamu yang berada didalam ruangan pribadi Sereia, selama masa tinggalnya disini. Kami merombak ruang tamunya dengan memindahkan sofanya ke sudut ruangan dan meminta beberapa pelayan membawakan kami kasur lipat, bantal, serta beberapa camilan. 

Sereia sudah membagikan selimut tipis pada Wren, ketika aku meletakkan laptopku di atas permukaan meja bundar. Saat aku kembali ke dunia manusia, aku mengingatkan diriku sendiri untuk membeli sebuah proyektor. Mungkin saja, kami bisa mengadakan sesi nonton kecil-kecilan seperti ini lagi.

Aku memilih sebuah series bergenre komedi romantis untuk diputar. Beruntungnya, sebelumnya aku telah mengisi penuh daya laptopku.

Wren dan Sereia terlihat antusias dan tidak sabaran, ketika aku bergabung dengan mereka di atas kasur lipat dengan bantal-bantal yang bertebaran, serta beberapa camilan mengelilingi kami.

***

Sesi menonton kami berjalan hingga malam.

Mereka tidak mau berhenti menonton hingga baterai laptopku habis. 

Saat notifikasi baterai laptopku muncul di sudut layar. Aku harus menghentikan pemutaran filmnya. Wren terlihat setengah mengantuk, begitu juga Sereia. Kami akhirnya memutuskan melewatkan makan malam karena terlalu kelelahan menonton seharian.

Setelah bersusah payah mengusir Wren, aku dan Sereia naik ke atas tempat tidur. Selama seminggu ini, aku selalu tidur di kamar Sereia. Karena aku tidak mau tidur di kamar Ratu yang jaraknya cukup dekat dengan ruang kerja Roan. Sikapnya terakhir kali masih membuatku kesal. Dia duluan yang menyerangku, lalu dia mengusirku.

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang