Bab 38: Sumpah dan Ikatan

109 16 3
                                    

Disampingku, Roan sekali lagi membeku.

Dia memandang saudara kembarnya dengan pandangan penuh kerinduan yang sendu. Di ujung kelopak matanya, air mata mulai berkumpul. "Ronan." Bisiknya.

Dia meremas genggaman tangan kami. Seperti mencoba menyadarkan dirinya sendiri.

Berikutnya, wajah sendu Ronan runtuh. Satu alisnya terangkat tinggi, sudut bibirnya berkedut. "Kamu punya sayap?" Tanyanya menggoda. "Dan tanduk, eh?" Pandangannya beralih ke atas kepalanya.

Roan menyinggungkan senyum miring, seperti sebuah ejekan. Walaupun masih ada kilauan air mata di kedua sudut matanya, setidaknya raut wajahnya terlihat terhibur. Lebih tepatnya, pongah. "Ya, tentu saja." Ucapnya dengan melirik ke arahku. "Berkat pasanganku," Satu tangannya yang bebas menunjuk sayap dan tanduknya. "Aku punya ini semua," Akunya dengan bangga dan percaya diri.

Ronan tertawa keras. Suaranya bergema melalui ruangan kosong disekeliling kami, bahkan air dibawahnya mulai bergerak berpendar karena suara tawanya yang keras. "Syukurlah." Dia menghembuskan napas lega. Pandangannya beralih dari saudara kembarnya, dia melihat ke arahku. "Aku berterima kasih." Ucapnya sambil membungkuk dan meletakkan satu tangannya di atas jantungnya.

Setelah dia menegakkan punggungnya, dia tersenyum pada kami berdua. Sebuah senyuman tulus yang penuh syukur. "Sekarang, aku bisa tenang." Dia mengakui. "Aku sempat khawatir," Suaranya merendah, "karena aku meninggalkanmu sendirian." Dia memandang saudaranya dengan pandangan meminta maaf. "Aku telah berjanji pada ayah, bahwa aku akan menemanimu. Tapi, takdir membawaku pergi."

"Aku mengerti Ronan." Suara Roan terdengar tercekat. Dia berusaha menahan dan menguatkan dirinya sendiri.

Yah, sepertinya ini saatnya bagiku untuk undur diri.

Mereka berdua perlu berbicara. Dan aku tidak mau mengganggu mereka. Aku berdeham. Seketika, dua pasang iris emas memandang ke arahku secara bersamaan.

Aku memandang Ronan. "Sebelumnya, aku pernah berjanji padamu. Bahwa aku akan membunuh Cahir untukmu. Dan aku telah melakukannya."

Roan langsung membalas. "Itukah alasanmu mengabaikan perintahku dan menerobos ke dalam benteng mereka sendirian? Untuk menepati janjimu pada Ronan?"

Aku mengoreksi. "Untuk menemukan jejak Renfal." Sekaligus menepati janji, tentu saja.

Roan hanya mendengus dan mengalihkan pandangannya dariku.

Ronan tergelak, dia terhibur dengan pemandangan di hadapannya. "Sudahlah, Roan. Dia hanya berusaha membantuku." Ucapnya berusaha menengahi. "Aku memahami alasannya."

"Dia hampir terbunuh, Ronan." Roan membentak dengan gigi yang terkatup. "Keempat pengawal Cahir hampir membunuhnya," Desisnya pada saudara kembarnya.

Ronan memutar bola matanya bosan. Dia memandangku dengan pandangan meminta maaf, sekaligus memohon. "Dia memang seperti itu. Dari dulu." Akunya. "Kumohon, bersabarlah dengannya."

Aku tergelak dengannya permintaan Ronan. "Tentu saja," Ucapku dengan anggukan. "Seseorang, memang harus bersabar menghadapinya." Aku menatap Roan dan memberikan sebuah kedipan menggoda padanya.

Beralih kembali pada Ronan, aku memberinya sebuah bungkukan hormat. "Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu lagi, Raja Ronan." Aku menegakkan punggungku. Lalu memandang mereka berdua secara bergantian. "Aku akan memberikan ruang untuk kalian bicara berdua."

Tanpa meminta persetujuan Roan. Aku melepaskan genggaman tangan kami. Melangkah mendekatinya, aku berjinjit dan mencium pipinya. "Aku akan menunggu diluar, bicaralah padanya sepuasnya."

***

Aku duduk di atas pembatas rendah yang terbuat dari pahatan batu putih dibelakangku. Memeluk kedua lututku yang tertekuk dan menyandarkan daguku di atasnya.

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang