Bab 42: Sebuah Pengakuan

26 6 4
                                    

Sebuah selimut beludru berwarna merah dihamparkan di atas tubuhku. Punggungku tertekan dengan kulit sofa yang kencang, sementara kulit dadaku menekan karena gerakan napasnya yang teratur.

Aku berbaring miring dengan kedua lengannya yang masih melingkari tubuhku. Menjagaku agar tetap dekat dengannya, di atas dudukan sofa panjang yang sudah sempit karena tubuhnya yang terlalu besar. Dia hanya memberiku ruangan sedikit, lebih tepatnya menghimpit tubuhku dengan tubuhnya dan punggung sofa.

Kehangatan miliknya masih merembes dengan deras dari tubuhnya. Kulitnya melekat di atas kulitku yang bersinggungan dengannya. Aku mendongak padanya dengan gerakan pelan. Kedua matanya tertutup, bibirnya yang penuh dan berkilau separuh terbuka.

Dia masih tertidur.

Dengan sangat damai.

Beberapa helaian rambutnya melekat pada sisi-sisi wajahnya. Aroma citrus dan musk mallow menguar dari tubuhnya membuatku merasa ingin melanjutkan tidurku. Tapi, aku menangkap tirai yang tertutup dari sudut mataku.

Sinar matahari yang sebelumnya terang dihalau oleh tirai, kini telah meredup. Ruangan ini perlahan meremang. Kelopak mataku perlahan bergetar tertutup, rasa kantuk perlahan membawaku pergi.

"Kamu tertidur lagi?" Suaranya hanya terdengar seperti dengkuran lembut yang membelai ujung kepalaku.

Aku terlalu malas menjawabnya dan mengangguk sebagai gantinya.

"Ada yang perlu aku katakan." Dia menghembuskan napas panjang yang rendah. Kepalaku bersandar di atas kulit dadanya. Gerakan pernapasannya malah membawaku semakin mengantuk. Kesadaran mulai memudar dari sudut pikiranku.

"Melione, sayang." Dia mamnggilku. Kedua tangannya menangkup rahangku. Membawaku pada pandangannya yang intens.

Satu mataku terbuka dengan malas. "Aku mengantuk." Gumamku mengeluh. "Biarkan aku tertidur."

Dia menarikku mendekati wajahnya, bibirnya meraup bibirku sepenuhnya. Giginya mengigit bagian bawah bibirku, menariknya dan memberi hisapan yang keras. Darahku bersedir dengan deras didalam tubuhku. Membangunkan setiap inci tubuhku. Napasku mulai terengah-engah. Aku membalas ciumannya. Memperdalam ciuman kami.

Erangan dan desahan panjang menjalar di atas bibirku. Berikutnya aku naik ke atas tubuhnya. Panas tubuhnya menular padaku. Aku memeluk wajahnya dengan kedua tanganku. Melahap mulutnya sepenuhnya.

Berikutnya, dia menahan wajahku. Menarik wajahku menjauh dari wajahnya. Dia tersenyum lebar. Kepuasan terlukis jelas darinya. "Sekarang, kamu sudah bangun."

Aku menggeram kesal dan memutar mataku. Turun darinya, aku mangambil selimutnya dan melilitkannya pada tubuhku. "Kamu benar-benar tahu bagaimana caranya menghancurkan kesenanganku." Berbalik, aku mulai melangkah menjauhinnya.

Sebelum aku bahkan bisa melangkah, dia menarikku kembali padanya. Meletakkanku di atas pangkuannya. "Aku hanya ingin bicara." Dia menjelaskan. "Sebelum aku juga kehilangan kewarasanku, aku harus menghentikanmu."

"Sama seperti kamu mengusirku dari ruang kerjamu. Meninggalkan aku dengan separuh telanjang." Aku mencibir.

Dia terkekeh pelan. "Maafkan aku," Tangannya beralih pada anak rambutku, menyelipkannya di belakang telingaku. "Aku harus melakukannya. Untuk kebaikanmu."

"Atau untuk pembalasanmu?" Aku menerka.

Dia tersenyum. "Itu juga bisa." Aku menggeram kesal. "Berhenti bertele-tele, Roan."

"Aku ingin kamu yang memerintah Kerajaanku."

Apa?

Apa dia benar-benar serius?

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang