Bab 8: Perjanjian Darah

119 21 1
                                    

Kami berdua kembali ke bar yang sama. Bahkan duduk di tempat yang sama, dia memesan sebuah minuman berakohol dan menawarkan satu padaku.

Aku menolak.

Ketika pelayan bar nya pergi, dia menyandarkan punggungnya pada kursi. "Jadi, kenapa kamu ingin menjadi pengawalku?" Dia bertanya dengan santai. Hilang sudah ketakutannya dan tatapan kengeriannya padaku. 

Aku merogoh saku celanaku dan melemparkan cincin miliknya ke arahnya. "Karena kamu seorang bangsawan dan kamu hampir saja terbunuh hari ini."

Bibirnya cemberut, dia bersedekap. Menghindari tatapanku.

Astaga, dilihat dari dekat. Dia terlihat sangat muda sekali. Jika dia seorang manusia, mungkin saja dia berumur delapan belas atau sembilan belas?

Aku menambahkan. "Apakah kamu tidak diberikan seorang pengawal?"

Dia menggeleng dengan wajah masam. "Aku sering berkeliaran. Menurut sepupuku, aku tidak perlu dijaga karena sudah dewasa. Dan dia berpendapat, bahwa aku bisa melatih bela diriku jika aku sering berurusan dengan beberapa preman."

Astaga, sepupu macam apa itu.

Dia membiarkan seorang yang begitu muda untuk berurusan dengan preman.

Ya, ampun.

Astaga, aku tidak bisa berkata-kata.

"Bagaimana jika kamu dibunuh?"

Dia memutar bola matanya bosan. "Tolong, jangan menganggapku seperti anak kecil. Aku masih bisa berkelahi, dan saat ini aku sedang mencari informasi." Dia berkedip cepat, bibirnya mengernyit. Seperti menyesali perkataannya.

"Aku baru saja melihatmu telah terkepung, jika aku tidak segera menemukanmu. Mungkin kamu tidak akan keluar dengan utuh."

Dia terlihat tidak keberatan. "Kalau begitu, aku bisa membiarkan sepupuku membakar mereka."

Astaga, pria di depanku adalah sepupu Raja Kerajaan ini. Aku tidak tahu harus beryukur atau ngeri. Tapi, setidaknya aku melihat sebuah peluang. "Jika kamu tidak membutuhkan jasaku, aku akan pergi."

Aku mulai beranjak dan berbalik.

"Tunggu!" Dia menegakkan punggungnya sambil berusaha meraihku.

Aku berbalik padanya dan memandangnya tanpa mengatakan apapun.

"Apakah kamu bisa membaca dan menulis? Aku benar-benar membutuhkan seorang asisten."

Kembali duduk di hadapannya, aku memberikan seringaian ular padanya. "Tentu saja, aku juga bisa mengawalmu kemanapun kamu pergi."

Wajahnya berkerut penasaran. "Siapa kamu sebenarnya?"

"Aku seorang pengembara, hidup berpindah-pindah. Mencari uang, dimanapun ada peluang."

Hidungnya mengendus ke arahku. "Kamu bukan seorang Elf murni." 

"Aku setengah manusia."

"Kamu tidak punya keluarga atau pasangan?" Tanyanya berhati-hati. 

Aku menggeleng, "Hanya ada aku." 

"Siapa namamu?"

Aku memberinya senyuman hambar sambil mengulurkan tanganku padanya. "Elle."

Dia menerima uluran tanganku dan memberikan senyuman yang tulus, "Panggil aku Wren. Atau biasanya aku dipanggil Pangeran Wren."

***

Malamnya, aku bergabung dengan Vad dan istrinya untuk makan malam di rumahnya. Seperti biasa, sebelum makan malam dimulai. Vad mematikan semua lilin di sekitar kami. Sebagai ganti penerangan lilin, dia meletakkan beberapa lentera yang berisikan kunang-kunang.

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang