Bab 23: Sebuah Nasihat

41 8 1
                                    

Aku masih berusaha menghilangkan bau anyir dan busuk yang menempel pada pakaianku. Ketika aku mendengar gedoran dari pintu kamar mandi yang terkunci. Suara Roan terdengar dari baliknya. "Ada masalah?" Tanyanya menuntut. Sekali lagi, dia mengedornya dengan keras. Hingga aku bisa melihat pintunya gemetaran hebat. Jika dia menggedornya sekali lagi, aku bertaruh pintunya akan lepas dari engselnya.

"Aku akan segera kembali." Ucapku berteriak melalui suara air wastafel yang bergemericik. Masih membasuh tanganku dan wajahku dengan sabun. Sebisa mungkin, aku harus menghilangkan baunya agar dia tidak curiga.

Jika dia tahu, aku yakin dia pasti akan mengurungku.

Walaupun aku tidak mendengar gedoran lagi, tapi aku tidak mendengar suara langkah kakinya menjauh.

Semoga saja, ventilasi kecil di kamar mandi ini membawa aromanya keluar. Menghembuskan napasku, aku mematikan semua wastafel yang sebelumnya aku nyalakan dan berjalan ke arah pintu. Membuka kuncinya, aku menarik pintunya hingga terbuka dan melangkah keluar.

Roan tentu saja telah menunggu. Dia bersandar pada lorong yang tidak jauh dariku. Wajahnya cemberut. "Kamu didalam sana hampir satu jam."

"Apa kamu sudah selesai makan?"

Walaupun dia terlihat tidak suka karena aku tidak memberinya penjelasan. Tapi, dia mengangguk. "Kamu belum memakan apapun." Sebuah gerutuan keluar dari bibir cemberutnya.

Aku berjalan mendekatinya. "Aku sudah minum jus." Ucapku sambil melewatinya. "Kita pergi, sekarang." Tanpa menunggu persetujuannya, aku mulai melangkah ke tangga dan turun. Saat aku telah mencapai lantai pertama yang riuh. Aku sempat berhenti dan mengulurkan beberapa lembar uang pada bartendernya.

Roan tentu saja mengikutiku dari belakang tanpa berkata apapun. Bahkan ketika kami berdua melewati ogre yang menjaga pintu masuk bar.

Aku berjalan memimpin ke arah mobilnya yang terparkir. Langkahku berhenti, aku bersandar pada pintu mobilnya. "Sudah selesai. Tidak ada apapun. Kita bisa kembali."

"Tidak. Kita tidak akan kembali." Ucapnya berjalan mengitari kap mobilnya.

Pandanganku mengikuti ke arahnya. Kedua mataku menyipit tajam. "Kenapa?"

Dia tidak menjawab pertanyaanku dan langsung masuk kedalam mobilnya. Aku menunduk dan masuk ke mobilnya. "Kemana kita pergi?"

Roan tidak menatapku. Dia menyalakan mesin mobilnya dan fokus menjalankannya. Tatapanku padanya masih tidak beralih. Menunggu jawabannya. Tapi, dia masih memandang ke arah jalanan. Aku sangat yakin dia merasakan pandangan tajamku.

Sampai akhirnya, dia membelokkan mobilnya ke sebuah motel sederhana yang terletak di pinggir jalan. Bangunannya hanya satu lantai dengan kamar-kamar yang berjejer secara memanjang. Roan memarkirkan mobilnya diantara banyak mobil sederhana lainnya. Perbedaannya benar-benar mencolok. Mematikan mesinnya, dia keluar dari mobilnya tanpa mengatakan apapun padanya.

Aku keluar dan mulai mengikutinya. 

Aku bahkan bingung kenapa aku harus mengikutinya.

Dia melangkahkan kakiknya ke arah lobi motelnya yang bercat krem dengan aksen yang membosankan. Seorang pria berdiri dibalik meja resepsionis dengan wajah bosan. "Ada yang bisa kubantu?" Bahkan nada suaranya juga bosan.

"Satu kamar untuk satu malam."

Aku menyerobot disamping Roan. "Dua." Ucapku tajam. Aku bisa gila jika bermalam bersamanya di dalam satu kamar yang sama dengannya. "Aku punya uang dan aku bisa membayar." Ucapku sambil merogoh dompetku dibalik saku jaketku.

Roan menghentikan tanganku tanpa berbalik sekalipun. "Satu." Geramnya ke arah resepsionis yang sekarang melongo di hadapan kami.

Resepsionis itu akhirnya melepaskan topeng bosannya. Dia berdeham dan memandang ke arah Roan. "Aku bisa merasakan perasaanmu, bung." Ucapnya bersimpati sambil mengambil sebuah kunci bergemrincing dari laci dibawah mejanya. Dia meletakkan dia atas meja, menyodorkannya ke arah Roan. "Apapun yang terjadi, aku mendukungmu." 

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang