Giginya menarik bibirku, mengigit bibir bawahku. Hingga aku bisa merasakan rasa anyir dari darahku sendiri di dalam mulutku. Roan semakin memperdalam ciuman kami. Menerobos masuk kedalam mulutku. Menyesap, menjilat, dan mencicipi darahku dengan lidahnya.
Dia sama sekali tidak memberiku jeda untuk bernapas. Ciumannya semakin keras dan menuntut, hingga membuat punggungku melengkung ke belakang, karena tekanan tubuhnya. Dia semakin liar dan terburu-buru, menekan wajahku dengan wajahnya. Napas hangatnya terengah-engah dan memburu.
Kakiku tersandung dengan sepatu botku sendiri. Dengan sigap, dia menahan pinggangku dari kejatuhanku. Mendorongku ke arah dinding—atau mungkin saja rak lemari—karena aku mendengar suara toples kaca yang berdenting.
Menekan tubuhku dengan tubuhnya. Aku merasakan miliknya yang mengeras, dibalik kain celananya. Dia masih menciumku dengan kelaparan. Suara geraman yang panjang dan dalam keluar dari tenggorokannya. Napasnya yang masih terengah-engah, diikuti dengan suara jantungnya yang berdegup kencang.
Tubuhnya mulai memanas, rasa panas itu menular padaku. Seperti kembang api yang dinyalakan dari sumbunya. Dia masih belum berhenti menciumku dengan keras dan terburu-buru.
Ketika akhirnya dia melepaskan bibirku, ciumannya mulai beralih pada rahangku. Turun dan terus menurun, mencium dan menghisap kulit leherku. Meninggalkan jejak panas yang membuat bagian terdalam diriku mulai terbangun. Detak jantungku memburu, napasku tidak beraturan. Kedua tanganku memeluk lehernya, dan membelai rambutnya.
Kedua tangannya melilit pinggulku, sementara dia membenamkan wajahnya kedalam kerah tunikku. Menarik sebuah napas yang panjang dan dalam di atas kulit leherku.
Kedua tangannya mulai beralih—melepaskan ikatan sarung tangan pedangku—terdengar bunyi gedebuk yang teredam—diikuti dengan dentingan pelan dari belati milikknya yang terjatuh. Dengan gerakan cepat, dia juga melepaskan ikatan sarung senjata pada pinggangnya sendiri.
Satu lengannya melilit pinggulku, menggendongku kembali ke atas bahunya. Aku terkesiap, sebuah jeritan lirih telontar dari bibirku.
Dia melepaskan kedua sepatuku dengan tangannya yang bebas, lalu berbalik ke arah pintu yang tidak jauh dari perapian. Pandanganku yang terbalik hanya menangkap pemandangan ruang kerjanya yang remang-remang. Berikutnya, pandanganku terhalangi dengan pintu kamarnya yang ditutup.
Terdengar suara klik yang berasal dari pintu. Roan melangkah ke sisi tempat tidur. Dalam satu tarikan cepat, dia menarikku dari bahunya dan membiarkan aku berdiri dengan kedua kakiku sendiri.
Dia berada di hadapanku. Iris emasnya berkilat-kilat. Sebelum aku mengatakan apapun. Wajahnya telah menunduk dan meraup bibirku. Memberikan lumatan dan gigitan pelan. Sementara kedua tangannya mulai menarik ujung kain tunikku keluar dari celanaku.
Dia menarik wajahnya dariku dan menyentakkan tunikku keluar dari kepalaku dengan gerakan cepat. Bibirnya kembali menjangkau bibirku, sementara tangannya mulai melepaskan tali korset yang melilit pada punggungku.
Gerakannya tidak sabaran dan frustasi. Dia menggeram di sela-sela ciuman kami. Hingga dia akhirnya menarik wajahnya dan menggerutu. "Kenapa tidak bisa lepas."
Aku tidak bisa untuk tidak tertawa.
Wajahnya yang merengut memandangku dengan tatapan tidak percaya.
"Tidak perlu terburu-buru, Roan." Kedua tanganku terulur kebelakang punggungku, menuntun telapak tangannya—melonggarkan tali-tali yang sebelumnya dia tarik dengan terburu-buru. "Aku tidak akan kabur darimu." Ikatan talinya mulai mengendur—jari-jari tangannya yang besar dan hangat mengikuti gerakan jari-jariku—mengendurkan kain korset yang mengelilingi tubuhku. Berikutnya, aku bisa merasakan desiran kain dan talinya yang terjatuh melalui tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasiaSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...