Bab 22: Sebuah Alasan

35 8 1
                                    

Roan belum kembali hingga malam.

Dia mengurungku didalam penthouse mewah miliknya.

Walaupun ada banyak sekali makanan yang tersimpan di dapurnya dan banyak sekali buku menarik dari koleksi perpustakaannya. Aku tetap merasa seperti seorang tahanan.

Aku benar-benar bosan menunggunya.

Dalam beberapa jam, aku telah menghabiskan lima buku. Meletakkannya berserakan di atas meja kaca disampingku. Sayangnya, tidak ada pemutar musik ataupun televisi disini. Jadi, aku menghibur diriku dengan memutar beberapa  lagu dari playllist ponselku.

Ruangan ini benar-benar terlalu besar untukku, dan aku membencinya. Walaupun ruangan ini memang menawarkan kemewahan dan kenyamanan.

Aku sedang berbaring di atas salah satu sofa panjangnya sambil menyanyikan lagu kesukaanku dengan nada sumbang. Ketika aku mendengar suara pintu terbuka di belakangku.

Mengabaikannya, aku tetap menyanyikan lagu yang terputar dari ponselku.

Aku merasakan pergerakannya. Langkahnya berhenti tepat disisi kepalaku. Dia duduk di atas sofa single tepat disisi sofa panjang—dimana aku terbaring. "Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya sambil menghembuskan satu napas panjang yang terdengar lelah.

Tanpa melihatnya, aku berkata. "Merencanakan pelarianku." Gumamku cepat dan kembali bersenandung mengikuti alunan lagu yang masih berputar.

Ada jeda sejenak.

"Bagaimana caramu melacak Renfal dan yang lainnya?" Tidak ada kejengkelan atau kemarahan dari suaranya. Bahkan dia sepertinya telah menyembunyikan kelelahan dari suaranya dengan baik. 

"Ada bar di pinggiran kota. Letaknya mungkin sekitar dua sampai tiga jam dari sini. Aku mengenal pemiliknya. Dia menjual informasi." Beruntungnya, bar milik Deline akan buka begitu malam jatuh. Dan karena tidak ada bus kota yang melewati area bar Deline, aku membutuhkan tumpangan.

"Kita akan pergi setelah makan malam."

"Tidak perlu. Kita bisa makan malam disana." Ucapku sambil bangun dan duduk. Aku menatapnya. Dan menemukan, bahwa dia sedang menatapku. "Aku akan mandi dulu." Berdiri, aku meninggalkannya dan naik ke lantai atas dan masuk kedalam kamarku.

***

Setengah jam kemudian. Aku telah siap. 

Saat aku turun. Roan masih belum terlihat. Karena aku sedikit lapar, jadi aku bergerak ke arah dapur dan membuka pintu kulkasnya. Mengambil sebuah apel yang tersimpan di dalamnya. Meluruskan punggungku, aku mengigit apelnya dan menutup pintu kulkasnya.

Berbalik, aku menemukan Roan telah berdiri dibalik meja konter. 

Dia benar-benar terlihat seperti seorang pria normal. Sebuah jaket kulit berwarna hitam tersampir di lengannya, kaus putih polos berkerah V menampakkan sekelebat rantai liontin yang dia pakai. Otot-otot dadanya dan lengannya tercetak jelas dari balik kausnya. Membuatnya tampak mengintimidasi sekaligus menggoda. Ditambah lagi dengan celana panjang khaki dan sepatu bot hitam. Kali ini, dia membiarkan rambut merahnya yang bergelombang tergerai natural menutupi bahunya.

Aku menarik napas tajam. Mengenggam apelku semakin erat. Lalu, berjalan melewati meja konter dan berusaha mendahuluinnya. "Kita harus pergi, sekarang." Ucapku cepat. Semoga saja, dia tidak menyadari kegugupanku. Aku mengigit apelku dan berusaha untuk bersikap normal.

Roan menyusulku dengan mudah dan berjalan disampingku. Saat kami tiba didepan pintu, dia membukakannya untukku. Kami berjalan melalui lorong tanpa berbicara. Hingga kami menunggu pintu lift terbuka. Dia memencet tombolnya. 

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang