Kepala besar Phobos menyundul telapak tanganku. Ekor bulunya melingkar ke punggungku. Bola mata merahnya berkedip cepat —menarikku mendekati ke badannya. Satu sayap hitamnya yang berkilau mengepak terbuka. Selanjutnya, sayapnya menutupi seluruh tubuhku.
Memelukku.
Aku melingkarkan kedua lenganku pada lehernya yang besar. "Aku juga merindukanmu, kawan." Satu sisi kepalaku bersandar bulu-bulu hitamnya. "Hari ini, kita akan pulang."
Suhu di sekitarku pengap, dan obor-obor disekeliling tempat ini menyala—berkobar dengan warna oranye yang terang. Aku berdiri di tengah-tengah sebuah landasan dengan serambi terbuka yang terletak disisi timur istana utama Kerajaan Ardere, disekeliling landasannya dibatasi dengan railing bercat emas dengan ukiran dedaunan merambat.
Setidaknya bunyi desiran air terjun yang mengelilingi istana utama Kerajaan Ardere mengurangi sensasi pengapnya—landasan ini diapit dengan aliran air terjun yang mengalir turun dengan deras pada sungai yang berada tepat di bawah bangunan ini.
Sekarang, aku mengerti kenapa Wren dan Sereia selalu mengeluh tentang cuaca panas disini.
Phobos memekik kegirangan. Bagian bawah kepalanya menepuk ujung kepalaku dengan lembut. "Aku juga menantikan hari ini, sebenarnya." Gumamku setengah ragu-ragu. "Kupikir, kita tidak akan pernah kembali."
Terdengar suara langkah kaki cepat dibelakangku, kepala Phobos melongok ke sumber suara. Dia mendengus dan mengalihkan kepalanya dari pemilik langkah cepat dibelakangku—aku menoleh dan mendapati Roan memakai pakaian bepergiannya.
Sebuah tunik hijau gelap berkerah menjorok bentuk V yang menampakkan sebagian kulit dada mahogany miliknya yang keemasan, serta sebuah rompi kulit bersepuh emas membalut bagian tubuh atasnya. Sebuah sabuk pedang melingkari pinggangnya, lengkap dengan harness di punggungnya—menampakkan dua ganggang pedang perak yang mustahil tidak aku kenali—kedua senjataku memang sengaja aku tinggalkan, karena ini bukanlah perjalanan yang berbahaya sama sekali.
Celana panjangnya serasi dengan warna tuniknya. Terakhir, sepatu botnya terlihat mengkilap dan berdecit saat dia berjalan mendekat ke arah kami. Sekilas, aku menangkap kilauan bilah belati yang tersembunyi dibalik sepatu botnya.
"Kita tidak mendatangi tempat berbahaya, Roan." Gumamku malas.
"Apa salahnya bersikap waspada." Gerutunya sambil mengambil tempat disampingku. Dia memandangi Phobos yang membuang muka darinya. "Dia marah padaku dan Callum." Akunya, "Karena kami tidak membiarkannya melihatmu."
Aku tergelak dan mengusap bulu-bulu hitam leher Phobos. "Itu sama saja seperti kamu memisahkan aku dengan sayapku." Pandanganku beralih padanya, satu tanganku terulur padanya. "Biarkan aku membawa pedangku sendiri."
Dia terlihat ragu selama sesaat, tapi setelahnya dia melepaskan harness dari punggungnya dan menyerahkan dua pedangku yang masih tersarung. Beruntungnya, harness nya bisa dimodifikasi, sehingga aku bisa mengikatkannya pinggangku.
Menepuk punggung Phobos, aku naik ke atas punggungnya. Satu tanganku terulur padanya, "Lebih cepat, kita melalui jalur udara." Aku memulai. "Dan jika kita meminjam seekor griffin tambahan, akan memakan waktu yang lama." Jika kami tidak segera pergi, aku akan meledak menjadi malapetaka, karena kekuatanku yang mengalir semakin deras ke seluruh pembuluh darahku— memompa kuat seperti kekuatan arus pusaran air yang mengamuk.
Dia menerima uluran tanganku. Sensasi kehangatan dari kulit telapak tangannya memberi ketenangan kecil pada pusaran kekuatan yang menggelegak di bawah kulit tanganku. Dalam satu gerakan cepat, dia naik ke belakangku—menghembuskan sebuah napas hangat panjang yang berhembus tepat di belakang leherku. Mengirimkan sensasi merinding yang menegakkan bulu-bulu halus ke sekujur tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
ФэнтезиSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...