Kedua kelopak mataku terbuka. Aku memandang langit-langit kamar yang bernuansa emas dan oranye. Terdengar suara air bergemuruh dari sampingku.
Menengok ke sumber suara, aku menemukan pemandangan air terjun yang di hiasi dengan penerangan kuning terang di tiap sisi tebingnya. Pilar-pilar marmer putih dengan gradasi emas memisahkan area balkon terbuka dengan railing yang berkilauan.
Kamar tidur di sekelilingku begitu luas, ada perapian yang menyala kuning tepat di seberang tempat tidur. Pandanganku menelusuri seluruh ruangan ini. Furnitur dan interiornya didesain dengan gaya feminim.
Bahkan, selimut dan seprai merah menyala yang menutupi tubuhku juga terlihat dari bahan lembut yang sangat nyaman. Kepala tempat tidur dibelakangku diukir dengan ukiran sulur-sulur seperti ekor matahari yang memanjang.
Seseorang telah mengganti pakaianku dengan sebuah gaun tidur berwarna oranye.
Aku mendengar suara dan langkah kaki yang mendekat.
"Semoga saja, dia segera bangun. Setidaknya, sepupuku berhenti menggerutu dan mengendalikan sedikit emosinya. Sungguh, beberapa malam ini aku kepanasan, aku yakin kamu juga." Suara Wren.
"Ya, aku bahkan harus berendam sebelum tidur malam." Pintu kamar tidur yang berada di sudut terbuka, menampakkan Sereia dengan gaun bertali birunya—membawa sebuah gelas, sementara Wren berdiri disampingnya dengan pakaian santai bernuansa merah dan oranye.
Wren lah yang pertama kali menoleh ke arahku. "Syukurlah." Ucapnya lega, dia berjalan ke arahku dengan langkah cepat. Duduk tepat di pinggir tempat tidur. "Kamu sudah bangun."
Sereia menyusulnya, berjalan mendekati kami dan berdiri disamping Wren.
"Berapa—" Astaga, suaraku serak. Aku berdeham. "Berapa lama aku tertidur?"
"Hampir seminggu." Sereia menjawab sambil mengulurkan gelas yang dia bawa padaku. "Itu teh, mungkin saja bisa membantu. Aku tidak menyangka kamu bangun sekarang."
Dahiku berkerut, "Memangnya aku belum boleh bangun?"
Wren menjawabnya. "Kamu tertidur seperti orang mati."
"Wren!" Sereia membentak padanya.
"Kenapa kamu ada disini, Sereia?" Aku menerima gelas Sereia dan meneguk isinya.
Hmm... Rasanya sejuk, setidaknya tehnya membuatku merasa lebih baik.
"Seseorang harus merawatmu." Ucapnya sambil mundur dari Wren dan berjalan melewati pilar-pilar di sampingku, dia bersandar pada pagar balkon didepannya. Memandang air terjun dan merasakan angin yang menderu melewati rambutnya, menerbangkan ujung-ujung gaunnya. "Lagipula, dengan ini aku bisa berkunjung Ke Kerajaan Ardere." Dia berbalik ke arah kami dan menyinggungkan senyuman puas. "Aku bosan terus-terusan terkurung di istanaku."
Tentu saja, Roan membawaku kembali ke Kerajaannya.
"Katakan padaku," Aku beralih pada Wren. "apa yang terjadi ketika aku pingsan."
"Semuanya terjadi begitu cepat," Dia memulai sambil menyilangkan kedua kakinya di atas tempat tidurku. "Begitu kamu meninggalkan aku, sepupuku bangun dari kursinya. Sepertinya, dia sudah menebaknya. Saat kamu melewati pintu, dia mengejarmu. Berikutnya, Raja Callum juga ikut-ikutan berlari. Selanjutnya, Tuan Aeron. Itu agak menghebohkan sebenarnya."
"Semua orang tahu?" Tanyanku ngeri
Wren mengangguk lambat sambil menarik bibirnya menjadi satu garis datar. "Ya," Jawabnya pelan. "Semua orang melihatmu berlumuran darah hitam." Dia bergidik ngeri.
Aku menutup kedua mataku dan mendesah panjang. Menjatuhkan punggungku di atas tempat tidur dan menatap langit-langit di atasku. "Alor pasti senang."
Sereia bergerak menjauhi balkon dan berhenti di sisi lain tempat tidur. "Sudahlah, Alor memang kekanakan. Dia keterlaluan. Bagaimana dengan makan siang? Aku dan Wren menyiapkan piknik di taman belakang istana. Kamu pasti menyukainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasíaSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...