Kami kembali dan berkuda hingga sore hari menuju sebuah pemukiman kecil terdekat. Saat kami keluar dari kedalaman hutan dan setengah berjalan ke arah pemukiman, aku memacu Lirael dan berlari disamping kuda Sang Raja. "Kita tidak bisa masuk kesana dengan membawa kuda-kuda ini." Aku mengingatkan. Kuda miliknya benar-benar mencolok. Apalagi corak belang merah yang ada di bagian belakangnya dan mata merahnya yang mengerikan. Orang-orang disana pasti akan bertanya-tanya.
Dia merengut dengan saranku.
"Atau kita bisa berkemah di dalam hutan."
"Terlalu berbahaya." Gerutunya tidak setuju.
Astaga, apa dia pikir aku seorang wanita lemah?
"Penampilanmu akan membuat mereka curiga." Aku menekankan perkataanku. "Lagipula, bukankah ini wilayah Cahir?" Ada keraguan terlintas dalam wajahnya. Dia mulai memperlambat kudanya. "Jika kamu pergi kesana. Aku yakin seseorang pasti memberitahunya." Sekarang, dia benar-benar berhenti.
"Baiklah." Gumamnya tajam. "Kita berkemah di pinggiran sungai." Tepat ketika dia selesai berbicara, dia langsung menarik tali kekang kudanya dan berbalik. Berlari memasuki hutan.
Setengah jam kemudian, dia menghentikan kudanya tepat di tepian sungai. Turun dari kudanya, dia membimbingnya ke salah satu pohon terdekat. Lirael tentu saja mengikuti langkah kuda Sang Raja, berdiri disampingnya. Aku turun dari punggung Lirael dan menggerutu. "Kenapa Lirael selalu mengikuti kudamu?"
Sang Raja sedang mengambil beberapa perbekalan dari tas yang terikat pada pinggang kudanya. Mengambil dua selimut tebal dan beberapa bungkusan makanan. "Karena mereka berdua pasangan," Jawabnya ringan sambil berbalik dan mulai menuju ke rerumputan yang lebih datar.
Aku mengikutinya, tentu saja masih mejaga jarak dua langkah darinya. "Tidak mungkin." Ucapku dengan tawa hambar.
Sang Raja memungut beberapa kayu kering yang berserakan pada beberapa pohon disekitar kami, air sungai mengalir dengan lembut disisi kami yang lain. "Menurutmu, kenapa kuda betina tungganganmu selalu mengikuti kuda jantanku?"
Aku tidak menjawabnya.
Karena hal itu memang mungkin.
Sang Raja mengumpulkan kayu kering temuannya dan membuat perapian kecil dengan mudah. Dia duduk bersila didepannya sambil menghangatkan perbekalan makanannya. "Ambil satu selimutnya."
Aku mengambilnya dan segera melangkah menjauhinya serta apinya. Berjalan memasuki naungan pepohonan yang lebih gelap. Membentang selimutnya di atas rerumputan di bawah batang pohon, aku melepaskan tas perbekalan milikku dari punggung dan meletakkannya di pinggiran selimut. Lalu, mulai berbaring membelakangi Sang Raja dan apinya—di atas selimut dengan tas perbekalanku sebagai bantal. "Aku ingin tidur sebentar, bangunkan aku ketika kamu ingin beristirahat."
Suaranya terdengar seperti gerutuan kesal dari belakangku. "Kenapa kamu berbaring disana?"
Karena aku membenci kehangatan yang merembes dari tubuhmu dan api yang kamu buat di belakang punggungku seperti sedang mengejekku. "Aku tidak bisa tidur dengan cahaya terang." Sebagian kebenaran.
Menarik tudung jubahku erat-erat, aku berusaha menutup mataku.
***
Kedua mataku terbuka, perlahan-lahan aku bangun dan duduk di atas alas selimutku. Menoleh ke belakangku, aku menemukan bahwa Sang Raja telah mematikan apinya. Dia berbaring dengan kedua tangannya sebagai bantal kepalanya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit polos yang masih gelap, memandanginya. Tanpa sama sekali berkedip. Napasnya berhembus dengan teratur.
Aku bangun dan berbalik, tanganku menyenggol empat bual apel. Mengambil salah satunya, aku mengendusnya. Memastikan bahwa apel itu aman untuk dimakan, aku mengigitnya. Bola mata emasnya melirik ke arahku. Dia menyadari bahwa aku sudah bangun.
![](https://img.wattpad.com/cover/373248093-288-k192788.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasySemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...