Bab 26: Sebuah Tawaran

37 8 1
                                    

Sereia sedang merajuk disampingku.

Dia duduk di tepi tempat tidurku sambil cemberut.

Aku membaca surat yang dikirimkan Callum. Suratnya tiba saat aku sedang pergi bersama Soren. Dan Sereia yang terlalu penasaran, membukanya sebelum aku kembali. Aku agak bingung sebenarnya, dia marah padaku atau marah pada surat yang ditulis pada Callum.

Cepatlah kembali.

Ada beberapa hal penting yang harus aku bicarakan padamu.

-Callum-

Apakah ada wilayahnya yang tercemar lagi?

Kalau begitu, aku memang harus kembali. Lagipula, saran dari Soren harus segera dijalankan.

Aku menghadapi Sereia yang masih merajuk. "Aku harus kembali sekarang."

Sereia tampak tidak peduli. "Aku tahu." Gumamnya tanpa memandangku sama sekali. Dia hanya memainkan tepian gaunnya.

"Apa kamu marah karena Callum tidak bertanya tentangmu?"

Dia menatapku kesal. "Aku marah pada kalian berdua." Protesnya. "Kamu masih membutuhkan pengobatan dan istirahat, lalu Callum mengirimi kamu surat seperti itu. Harusnya dia tahu, jika kamu berkunjung padaku. Itu berarti kamu sedang membutuhkan pengobatan dariku."

"Aku janji akan tinggal lebih lama lain kali." Jika aku masih punya waktu.

"Baiklah." Dia mendekatiku dan memberiku pelukan perpisahan.

***

Perjalanan kembali ke Kerajaan Aeolus tidak membutuhkan waktu lama. Phobos terbang melesat seperti panah yang dihempaskan dari busur.

Kami tiba sekitar satu jam kemudian. Mendarat tepat di depan balkon kamarku. Pakaian yang aku gunakan, sama sekali tidak serasi dengan pakaian disini.

Aku melangkah masuk kedalam kamarku dan mengacak-acak lemariku. Memakai tunik berkerah tinggi berlengan panjang berwarna abu-abu, celana hitam, sepatu bots, dan tentu saja sarung tangan kulit. Setelahnya, mengikat rambutku menjadi sebuah sanggul rendah.

Selesai berganti pakaian. Aku keluar dari kamarku dan melangkah ke arah ruang pribadi Callum. Jika perkiraanku benar, maka dia dan Aeron pasti sedang bergosip disana.

Aku membuka pintunya tanpa mengetuk.

Tatapanku berhenti sejenak pada perapian yang menyala dengan api berwarna kuning. Itu mengingatkanku pada seseorang. Callum mendongak dari sofanya. Sementara Aeron mendongak dari perkamen yang sedang dia baca. Dia duduk di seberang Callum.

Mereka berdua bertukar pandangan singkat. Lalu, Callum mengangguk pada Aeron

"Kamu kembali." Aeron bernapas lega. Gerakannya santai—bahkan terlalu santai. Dia mulai mengambil sebuah kertas kecil memanjang dan mulai menulis.

Callum hanya berdecak sambil menyilangkan kakinya. "Sepertinya dia langsung berangkat begitu suratku sampai."

"Sereia marah padamu." Aku berkata sambil memasuki ruangan dan duduk di seberang Aeron, membelakangi perapian. Lalu, mengambil sebuah apel dari keranjang buah-buahan dari meja dihadapanku.

Callum berusaha menyamarkan keterkejutannya. "Kenapa dia marah?" Dia berusaha untuk terdengar tidak peduli. Tapi gagal.

"Kamu tidak menanyakan apapun tentangnya." Aku mulai mengigit apelku dan bersandar pada punggung sofa. "Katakan padaku apa masalah pentingnya?" Tanyaku sambil mengunyah apel.

Aeron berdiri dari sofanya dan berjalan ke arah balkon. Memanggil burung elang pengantar pesan miliknya. Dia mengikatkan surat itu pada kaki burung elangnya. Lalu, menerbangkannya.

The Darkest Moon (Moon Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang