Beberapa hari berikutnya, kami menghabiskan waktu didalam kamar suite mewah kami. Roan bahkan melarang petugas kebersihan masuk kedalam, dan menelpon resepsionis untuk selalu mengantar makanan kami.
Dia benar-benar bersungguh-sungguh dengan perkataannya, ketika aku memberinya ide—menahanku di tempat tidurnya sepanjang hari— dia benar-benar memanfaatkannya. Tidak membiarkan aku lepas dari jarak pandangnya.
Mengukir setiap inci kulitku dengan bibirnya.
Membenamkan dirinya kedalam diriku.
Kami saling teralihkan satu sama lain hingga mengabaikan perubahan langit yang berada diluar balkon kami. Sentuhannya pada setiap inci kulitku, membuat pikiran jernihku memudar. Aku tidak peduli dengan ketelanjanganku yang terekspos sepenuhnya di hadapannya.
Aku bahkan tidak mengenali waktu yang bergerak disekitarku.
Ketika aku melihat semburat oranye sinar matahari yang melambung ke atas langit cerah diluar balkon. Aku merasakan kulit wajahnya bersandar pada punggungku. Kedua lengannya melilit pinggangku seperti ular boa yang melilit mangsanya.
Dia mendengkur pelan, helaian rambutnya menggelitik punggungku.
Saat dia beringsut menarikku semakin melekat pada kulit dadanya yang keras. Berikutnya, aku merasakan hembusannya tepat dibelakang leherku. "Kita harus kembali." Dia bergumam mengantuk."
Aku berbalik membelakangi balkon suite kami yang mulai terang. Dia membiarkan aku menghadapinya. Seketika, aku disambut dengan wajah santainya yang mengantuk. Kedua matanya masih setengah tertutup. Lengannya kembali melingkari pinggangku. Wajahnya menunduk dan bersandar pada dahiku. Dia mendesah panjang, sebelum akhirnya berkata dengan malas. "Karena, besok adalah hari penobatan kita."
Wajahnya turun dan mendarat pada lekukan bahuku. "Kamu perlu mengepas gaunmu."
***
Beberapa jam kemudian, setelah Roan benar-benar bangun dari tidurnya. Dia bercinta denganku—lembut dan sensual, seperti berusaha membuat momen-momen ini berarti untuk kami berdua.
Aku merengut pada pantulan cermin kamar mandi dihadapanku. Kulit leherku seperti macan tutul. Penuh tanda merah yang membiru. Aroma citrus dan muskmallow milik Roan menguar pekat dari dalam tubuhku.
Pancuran bilik kamar mandi dibelakangku dimatikan, berikutnya Roan keluar dari dalamnya hanya dengan handuk melilit pinggangnya. Aku menangkap pantulannya dari cermin di hadapanku. "Ada masalah?" Tanyanya polos.
Rambut merah apinya sepenuhnya basah, buliran airnya berjatuhan turun.
Butiran airnya masih bergulir menuruni dadanya, melewati otot-otot kerasnya yang tercetak sempurna pada bagian atas tubuhnya.
Aku menelan ludahku susah payah melalui tenggorokanku. "Tidak." Berbalik darinya, aku melenggang keluar dari kamar mandi.
Jika aku tetap disana selama beberapa detik lebih lama, kami pasti terlambat kembali.
***
"Kapan kamu akan mengajariku cara berpindah melalui perapian?" Tanyaku pada Roan, saat kami berjalan melalui perapian yang berada didalam ruang tamu suite hotel.
Api oranye miliknya menjulur di sekitar tubuhku seperti seekor kucing yang menyambut majikan lamanya. Aku mengulurkan tanganku yang bebas dari genggaman tangannya dan menangkup jilatan api yang paling dekat denganku. "Setelah penobatan kita." Jawabnya cepat.
"Apa menurutmu—"
Wren menyela dengan suara keras. "Bagus! Kalian akhirnya kembali."
Dari sudut mataku, aku melihatnya bangkit dari sofa ruang kerja pribadi Roan. Baelyn duduk disampingnya. Mendongak dari sebuah perkamen yang sedang dia pelajari. Dia tersenyum hangat pada kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasiaSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...