Saat tengah malam, seluruh tubuhku terasa menggigil. Bahkan obat dari Edna sama sekali tidak berpengaruh padaku. Aku telah memakai mantelku yang paling tebal dan menutupi tubuhku dengan sprei tempat tidurku. Tapi, itu masih tidak berpengaruh.
Pandanganku tertuju pada perapian yang mati didepanku. Aku tergoda untuk menyalakannya. Tapi, jika aku menyalakannya. Itu seperti memberikan sebuah pintu terbuka pada Sang Raja. Kehangatan miliknya yang sebelumnya berusaha meraihku, kini menghantuiku. Membuatku putus asa menginginkannya.
Aku tetap bertahan dengan keadaanku yang masih menggigil hingga matahari mulai terbit dari bukaan kamarku. Melemparkan selimutku, aku mulai menerjang ke arah balkon dan berusaha menangkap sinar matahari yang menyinari balkonku.
Aku tertidur hingga tengah hari, dengan matahari tepat berada di atas kepalaku. Tubuhku bersandar pada pembatas balkon. Menghela napas panjang, aku mulai berbaring pada lantai balkon, sambil menutup kedua mataku. Berusaha merasakan panas matahari yang tidak akan pernah bisa aku rasakan.
Setidaknya, tubuhku tidak menggigil.
Ini semua adalah salahnya. Jika dia tidak mendekat padaku. Maka kehangatannya tidak akan menggodaku dan membuatku menginginkan hal yang lebih.
Rasa kantuk mulai membawaku pergi.
"Elle!"
Kedua mataku terbuka dan aku mendapati wajah Wren tepat di atasku. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanyanya cemas. Dia membantuku bangun. "Aku akan memanggilkan tabib untukmu."
"Tidak perlu." Suaraku terdengar serak.
Dia kebingungan. "Kamu terlihat mengerikan. Dan aku yakin kamu sedang sakit." Kebingungannya semakin dalam ketika dia melihat wajahku. "Kenapa kamu tidak berkeringat sama sekali?" Tangannya mendarat pada kulit dahiku. Seperti sedang memeriksa. "Suhu tubuhmu normal." Bibirnya berkerut. "Ini aneh. Pokoknya, aku akan memanggil tabib untukmu."
Dia mulai berdiri. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Aku menahan lengannya. Beruntungnya, aku sama sekali tidak melepaskan sarung tanganku. "Apa ada masalah?" Suaraku masih terdengar serak. Aku berdeham, berusaha untuk membuatnya terdengar lebih baik.
"Kamu yakin baik-baik saja?" Wren bertanya ragu.
Aku mengangguk.
"Kita akan pergi keluar, memeriksa beberapa hal tentang penjarahan di wilayah Dusan." Dia masih terlihat bimbang sebelum melanjutkan. "Tapi jika—"
"Beri aku waktu sepuluh menit."
***
Wren memakai pakaian yang lebih santai dan lusuh, sama sekali tidak menarik perhatian siapapun . Sementara aku, memakai sebuah jubah yang membuat beberapa orang melirik ke arahku selama kami melewati jalanan kota yang ramai. Setidaknya, dengan jubahku aku bisa menyembunyikan sarung dua pedang lengkung milikku yang tergantung pada punggungku. Aku berusaha mengacuhkan mereka. Karena kami akan pergi keluar dari wilayah kota ini.
Aku berjalan disamping Wren yang menyelipkan kedua tangannya ke saku celananya. "Kita akan pergi ke wilayah Dusan. Sepupuku akhirnya bisa mempercayaiku pergi ke luar ibukota tanpa arak-arakan yang mewah." Dia terdengar geli dengan pembicaraannya sendiri.
"Aku telah bersumpah pada sepupumu," Aku mengingatkannya. Langkah kami mulai tersendat ketika menyebrangi sebuah jembatan batu melengkung dengan banyak sekali penduduk yang lewat dari arah berlawanan. Aku selalu menempatkan Wren di sisiku, menghindari agar kerumunan itu tidak bersinggungan langsung dengannya. Beberapa kali para penduduk yang berlalu menabrak bahuku dengan keras, hingga aku terdorong mundur dan sedikit menyenggol Wren. "Selama kita berada di wilayah Kerajaan sepupumu, nyawaku adalah perisaimu. Penyerangmu harus membunuhku sebelum bisa menyerangmu."
![](https://img.wattpad.com/cover/373248093-288-k192788.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasiSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...