~Hidup terlalu singkat kalau untuk "kenapa dia gini, kenapa dia gitu.~"
.
.
.
Aditya memutuskan untuk mengajak pulang istri nya itu, daripada menangis tanpa henti di rumah sakit. Karena semenjak kemarin kondisinya belum bisa dikatakan baik baik saja, bahkan Nawa belum menunjukkan naiknya saturasi oksigen dan demam yang masih tinggi juga. Masih dibawah normal, subuh tadi nge drop lagi hingga meminta persetujuan untuk dipakaikan ventilator. Ya karena itu Ayudia nangis lagi, wajar sebenarnya."Vera .. saya titip anak saya, dalam kondisi apapun saya mohon kabari saya ya." Pinta Ayu dengan suara serak nya karena terlebih menangis.
Seorang Ayudia yang perfeksionis seolah hilang entah kemana, karena ini terlihat menyedihkan wajah pucat serta kantong mata yang menghitam dan hijabnya yang sudah tidak karuan, rambut banyak yang mencuat keluar.
Dokter Vera, teman sejawat Ayudia saat koass dulu, dokter spesialis paru itu mengangguk seraya tersenyum. Ia menjaga jarak dengan Ayudia. Adalah 1-1,5 meter an. "Kamu tenang aja Ayu, pulang gih. Istirahat yang cukup, jangan lupa makan juga ya,kamu juga harus isolasi.." titah Vera karena ia melihat Ayudia dalam kondisi yang agak kurang baik sebenarnya.
Ayudia mengangguk, "Permisi ya Vera,"
Vera mengangguk, ia melambaikan tangan.
Saat berjalan menuju parkiran, Ayudia bahkan sudah memikirkan hal terburuk ia sebagai dokter tentu sudah tahu akan hal itu.
Mobil yang di kendarai oleh Aditya mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah sakit. Yang biasanya ketika ada salah satu keluarga yang sakit akan ada yang menunggui, lain hal dengan yang ini. Berat sudah pasti, namun mereka bisa apa? Musuhnya bukan sesuatu yang bisa dilihat dengan mata telanjang, musuhnya ini tidak terlihat namun cukup mematikan.
"Mas.. kalau kalau nanti Nawa ngga ada, kita ga bisa lihat jenazah nya ya,? Terus gabisa mandiin dia.." Lirih Ayudia. Pandangannya lurus kosong Kepalanya menempel pada kaca jendela mobil itu. Tangannya yang kanan setia menggenggam tasbih nya dan yang kiri memegang erat tali rambut Nawa yang tadi dilepas oleh suster disana.
Aditya menghela nafas, air mata juga menetes tanpa permisi kala melihat wujud serta mendengar ucapan sang istri. "Sayang.. Tolong bicara yang baik baik aja, Nawa ga bakal kenapa kenapa Sayang. Dokter yang jaga juga orang yang kamu kenal baik, tolong sayangg, tolongg.. jangan hilang semangat gitu ya.." ucap Ditya. Tidak bisa memeluk dan mengecup untuk menenangkan, demi kebaikan bersama.
Kembali isak tangis terdengar, miris sekali. Kenapa harus anaknya, Ayudia merutuki perbuatannya semalam. Ia tidak menyadari anaknya dalam kondisi tidak baik, malah ia yang habis dari luar serta kontak fisik dengan banyak orang malah dengan santainya memeluk si bungsu.
"Ya Allah jaga anakku ya Allah.. ampuni aku belum bisa menjaga titipanMu ya Allah hiks-hikss .. jangan ambil buah hati ku ya Allah ku mohon.. hik-s.. jangan ambil Nawa ya Allah.. ya Allah hiks- hiks ya Allah jangan.. aku mohon." Racau Ayudia. Ia menangis sambil menciumi tasbih dan ikat rambut Nawa, tangis seorang ibu membuat siapapun yang mendengar ikut merasakan sakit. Hati nya pun terasa sakit .. sakit sekali, ia harus bagaimana nanti jikalau bungsunya tidak selamat dari virus ini? Apakah ia masih waras dikala itu?
Nawa .. tolong untuk kuat anakku
Aditya yang tengah menyetir hanya bisa diam, ia mengeratkan pegangannya pada setir mobil nya. Ditya tidak bisa menguatkan karena ia sendiripun rasanya seperti akan runtuh juga. Katakanlah Aditya pecundang karena tidak bisa menjadi kuat saat anak istrinya rapuh, karena ia sendiri pun juga kewalahan menahan beban ini. Sekali lagi, musuhnya sekarang adalah virus yang tidak terlihat mata telanjang. Ia datang tanpa diminta dan tanpa permisi, banyak nyawa yang terenggut akibat virus tersebut. Sudah dari lama mewanti-wanti namun namanya musibah juga tidak ada di kalender.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASHAKA✓
FanfictionNamanya hidup juga harus sabar, emang berat sih tapi kan hadiah nya surga. Kalo mau ringann mah hadiahnya cuma kipas angin hehehe nawnawww