23.

15 1 0
                                    

Narendra dan Liana sudah pergi sejak 15 menit yang lalu dan meninggalkan Vian yang masih sibuk berpikir dengan keras. Berulang kali laki-laki itu berusaha mencerna fakta yang baru saja ia terima, tapi tetap saja tidak bisa. Kenapa harus Ayahnya yang menjadi korban? Sebelumnya ia sudah membenci Evan karena Retha dan sekarang...

Vian segera bangkit berdiri dan bergegas untuk mencari Retha. Ia harus menceritakan semua ini padanya sebelum semuanya jadi terlambat.

Vian berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Retha, hingga ia tidak menyadari keberadaan Dahlia. Dahlia yang melihat Vian celingukan mencari sesuatu segera menghampirinya.

"Cari siapa dok?" tanya Dahlia sembari tersenyum ramah

Vian yang mendengar itu langsung menoleh, "Saya ingin mencari dokter Retha, apa dia sudah pulang?"

Seketika senyuman di wajah Dahlia luntur dan tergantikan oleh wajah datarnya. Vian yang tidak tahu menahu tentang perasaan Dahlia menambahkan, "Saya ingin menyatakan perasaan saya."

Deg.

Seketika itu juga jantung Dahlia serasa jatuh dari tempatnya. Ia merasa sakit seperti ada sebuah anak panah menusuk jantungnya.

"Kenapa..."

Vian mengangkat alisnya ketika mendengar perkataan Dahlia yang kurang jelas di telinganya.

Dahlia sudah tidak dapat menahan air matanya lagi. Tapi baru satu titik air mata yang jatuh buru-buru di hapus. Dahlia tidak ingin Vian melihatnya dan mengkasihaninya. Dan Dahlia mulai menceritakan semuanya pada Vian. Tentang perasaannya.

"Saya sebelumnya berterima kasih atas perasaannya,"

Dahlia tersenyum tipis ketika mendengar perkataan dari Vian. Ia sangat berharap laki-laki itu akan menerima perasaannya.

"Tapi maaf, saya menyukai dokter Retha."

Jawaban dari Vian membuat kaki Dahlia lemas, tidak sanggup lagi untuk menopang bobot tubuhnya.

***

Retha merogoh tas miliknya dan mengambil ponsel dan menelepon Evan. Ya, hanya laki-laki itu teman bicaranya saat ini. Ia adalah seorang perempuan tapi sama sekali tidak memiliki sahabat perempuan, hanya Dahlia seorang yang ia punya.

Sambil berurai air mata Retha mencari nomor Evan dan meneleponnya. Lama panggilan itu tidak tersambung, saat nada sambung yang terakhir Evan baru
menjawab panggilan itu.

"Halo Re, kenapa?"

"Hiks... hiks... hiks"

Ketika mendengar suara Evan, Retha tidak dapat menahan air matanya lagi.

"Lo dimana, gue sekarang ke sana ya?"

"Gue lagi ada di apartemen. Sini,"

Tut

Sambungan pun terputus. Retha pun melempar asal ponselnya ke sembarangan tempat kemudian ia menutup matanya dan membiarkan air mata mengalir membasahi pipinya. Terlintas dalam benak,  pertengkarannya dengan Dahlia.

30 menit kemudian, bel pintu apartemen berbunyi. Dengan malas Retha bangkit sembari menghapus jejak air mata di pipinya.

Saat membuka pintu, Evan sudah berdiri sambil memegang kantung plastik yang Retha duga berisi makanan. Seperti biasa, Evan selalu khawatir padanya dan mulai mengintrogasinya, karena kesal Retha segera memeluknya erat.

Mulanya Evan cukup terkejut dengan reaksi Retha tapi lama kelamaan ia membiarkannya dan balas memeluknya.

"Kenapa hm?"

Mendengar pertanyaan lembut dari Evan membuat Retha menangis dalam pelukan laki-laki itu. Kian lama tangisan Retha kian mengeras, membuat Evan bertambah panik.

"Ayo Re, ikut." Evan segera menarik sebelah tangan Retha

Berulang kali Retha menanyakan tentang tujuan mereka, tapi Evan hanya berkata 'Ikut saja.'. Mau tak mau Retha ikut masuk ke mobil yang entah akan membawanya kemana.

***

Hai guys... 👋 maaf ya ceritanya acak-acakan, nanti aku edit ya

Salam hangat, Koala Kecil 🐨🐨🐨

B.I.L (Because I Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang