Bab 29; Kehadiran Mami Kawita

4.1K 357 29
                                    

Bagaimana ya rasanya dikunjungi mertua sendiri di tempat kerja atau di rumah setiap weekend sambil dibawakan makanan kesukaan kita?

Atau ... bagaimana ya rasanya dipeluk oleh Ibu kedua setelah Ibu kita sendiri sambil di puk-puk dan bilang, 'Terima kasih sudah mengurus anak Ibu dengan baik sampai sekarang, kamu hebat, sayang. Ibu bangga sekali sama kamu.'

Apakah rasanya sangat senang? Senang sekali atau malah rasanya biasa saja dan tidak terlalu istimewa untuk dirasakan?

Kalau bagi Thabi, sepertinya dia akan sangat senang sekali apabila Mami Kawita memperlakukannya dengan baik seperti itu. Rasanya akan senang sekali sampai nggak sadar bibirnya pasti akan terus terangkat sebagai bentuk senyum bahagia karena hal itu.

Tapi sayang nya, sejauh ini—sejauh Thabi menjadi menantunya Mami Kawita, Mami Kawita sama sekali nggak pernah memperlakukan Thabi selayaknya mertua yang bangga pada menantunya. Terakhir Thabi dipeluk Mami Kawita itu, hanya di acara pernikahannya dulu. Itu pun Mami Kawita tidak secara tulus memeluk Thabi. Restu nya sama sekali belum Thabi dapatkan hingga sekarang.

Dan Thabi sebenarnya tidak terlalu ambil pusing mengenai penerimaan Mami Kawita terhadap nya. Sebab dulu, Pras selalu meyakinkan Thabi, bahwa selagi masih ada dia disampingnya, Thabi tidak perlu khawatir soal Mami Kawita dan keluarganya. Pras akan selalu ada untuk Thabi ketika Thabi harus berhadapan dengan Mami dan keluarganya di Gading atau bahkan keluarga besar nya sekalipun.

Tapi itu dulu ...

Sekarang, sudah tidak ada Pras disampingnya. Dan Thabi hanya bisa meremas erat jari-jari tangannya yang saling bertautan satu sama lain di bawah meja ketika dia harus menghadapi kehadiran Mami Kawita yang datang secara tiba-tiba ke ruang kerja nya saat ini.

"Kamu itu ... tinggal kerja, duduk, melayani pasien saja susah nya minta ampun ya. Memangnya kamu nggak bisa hidup diam tanpa bikin ulah yang selalu melibatkan Pras, ha?" Tidak ada pelukan atau puk-puk an yang dimaksud oleh Thabi diawal dari Mami Kawita ketika mengunjunginya. Yang ada hanya selalu pertanyaan yang menjurus untuk menyalahkannya lagi dan lagi.

Mereka berdua bahkan belum duduk, bukannya bicara sambil berdiri itu nggak baik ya? Malah semakin emosi dan sulit untuk dikendalikan.

"Mami ... duduk dulu, Thabi bikinkan minuman untuk mami. Mami mau minum apa?" Tanya Thabi menawarkan minuman dan sedikit sopan menyuruh Mami Kawita untuk duduk. Dia tidak suka pembicaraan mereka berdua dilakukan dengan cara berdiri. Selain karena tidak sopan, Thabi tidak mau Mami Kawita meledakkan emosinya di rumah sakit.

Awalnya Mami Kawita menolak, kekeuh menolak dengan ekspresi jutek dan marahnya. Tapi dengan sabar, Thabi memberi pengertian, "Thabi nggak mau Mami marah-marah sama aku dalam posisi berdiri seperti ini. Bukan apa-apa, tapi nanti suaranya bakal jauh lebih terdengar ke luar. Mami nggak mungkin bikin malu Papi yang jabatannya tinggi di rumah sakit kan? Duduk aja, Thabi tetap akan mendengarkan pembicaraan Mami meskipun sambil duduk." Kata Thabi.

Meski dengan ogah-ogahan, Mami Kawita akhirnya duduk di sofa ruang kerja Thabi. Thabi menghampirinya dengan membawa air mineral kecil yang selalu tersedia di kulkas ruangannya. Mami nggak mau minum apa-apa katanya. Entah karena gengsi atau apa, tapi akhirnya Thabi tetap menyediakan air mineral kecil untuk wanita paruh baya itu.

Sebelum mendekati Mami Kawita, Thabi sempat menghela napas beberapa kali. Mencoba untuk mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi Mami dan segala kalimat yang keluar dari bibir nya. Yang mungkin saja akan terasa menyakitkan dan Thabi diharapkan jangan langsung menangis. Anggap saja angin lalu. Karena nggak ada Pras sekarang. Nggak ada orang yang bisa menenangkannya, nggak ada orang yang tetap menggenggam tangannya bahkan ketika dia harus berhadapan dengan Mami Kawita sekalipun.

Let's End This MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang