Bab 2; Seperti hidup masing-masing

7.8K 444 8
                                    

Rutinitas pagi Thabi selalu berjalan sama setiap harinya. Pertama, ia akan sibuk dengan rutinitas untuk mempercantik dirinya. Kedua, ia harus tetap melakukan peran nya sebagai seorang istri dengan menyiapkan sarapan untuk Pras. Ketiga, ia akan sarapan sendiri di meja makan. Keempat, ia akan pergi bekerja lebih dulu daripada Pras. Rutinitas tersebut berulang setiap harinya sejak ia dan Pras memutuskan untuk pisah kamar satu tahun yang lalu. 

Satu tahun yang lalu ...

Waktu dimana semua kehidupan pernikahannya berubah. Waktu dimana Thabi akhirnya mulai menyadari kalau selama ini, sejauh ia bersama Pras. Pras tidak pernah mencintainya. Bisa saja, Pras juga tidak pernah menganggap Thabi ada sebagai istrinya. Sudah Thabi katakan sebelumnya, semua perlakuan Pras kepadanya tertutup oleh cinta yang Thabi berikan untuk Pras. Memang ya, cinta itu omong kosong yang bisa mematikan mata pada sebuah kenyataan.

Thabi melamunkan kejadian satu tahun yang lalu sampai suara air yang mengalir dari dispenser di kitchen bar nya berhasil membuat Thabi kembali pada kesadarannya. Mata Thabi langsung menangkap Pras yang sedang meneguk air dari posisi duduknya.

"Aku pergi duluan." Pamit Thabi pada Pras saat ia sudah selesai dengan sarapannya.

Selalu seperti ini, saat Pras sudah turun ke meja makan untuk sarapan, itu artinya Thabi juga sudah selesai dengan sarapannya, lalu ia akan pergi lebih dulu ke rumah sakit untuk bekerja sebagai dokter spesialis anak.

Hidup dalam satu atap dan ikatan yang sama tapi melakukan apapun sendiri sama saja seperti hidup masing-masing, bukan? Kalau begitu untuk apa menikah?

Thabi pun bertanya-tanya tentang itu. Tapi lagi-lagi jawabannya buntu. Ia tidak tahu apakah selama ini —selama menikah dengan Pras waktunya jadi terbuang sia-sia karena ia tidak bisa menikmati kehidupan pernikahannya dengan baik? Dan mungkin satu-satunya yang bisa ia jawab dari pertanyaan itu adalah ia juga menyesal menikah dengan Pras.

———

"Hari ini jadwalnya check up anak-anak di ruang rawat melati ya, dok." Suster Nadine sekaligus partner kerja nya menyebutkan jadwal Thabi hari ini.

Thabi yang baru saja sampai di ruang kerja nya, mengangguk. "Oke, nanti siapkan beberapa yang dibutuhkan untuk check up sama infusan juga, barangkali ada infus yang harus di ganti hari ini."

Suster Nadine mengangguk, "Siap, dok. Kalau gitu saya siapkan dulu keperluan check up nya." Setelah pamit, suster Nadine pergi dari ruangan Thabi untuk menyiapkan keperluan check up hari ini.

Thabi membuka lembaran kertas yang tadi diberikan oleh suster Nadine. Kertas itu berisi daftar anak-anak yang hari ini jadwalnya untuk Thabi cek perkembangan kesehatannya.

Setelah Thabi berada di rumah sakit, itu artinya segala pikiran yang tertuju pada rumah dan Pras, harus ia singkirkan terlebih dahulu. Ia harus bisa memprioritaskan kepentingan pribadi dengan kepentingan pekerjaan nya sebagai seorang dokter anak di rumah sakit milik keluarga Pras.

Iya. Thabi bekerja di sebuah rumah sakit swasta milik keluarga Pras. Lagi-lagi segala kehidupannya selalu bersangkutan dengan Pras. Kalau di tilik lebih jauh, sebenarnya Thabi tidak punya apa-apa dibandingkan dengan Pras. Thabi hanya memiliki gelar dokter spesialis anak yang ia dapatkan dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri.

Terlahir dari keluarga yang sederhana dengan background pekerjaan ayah sebagai manager di salah satu perusahaan start up dan ibu bekerja sebagai guru sekolah SD membuat Thabi berada sangat jauh levelnya dengan Pras. Katakan saja kalau Thabi adalah salah satu perempuan yang seharusnya banyak bersyukur karena berhasil menikah dengan Prasodjo — anak dari Hari Wardoyo — konglomerat yang hartanya tidak akan pernah habis meski salah satu perusahaan nya bangkrut. Karena sudah pasti akan ada perusahaan-perusahaan besar lainnya yang masih atas nama pria paruh baya itu.

Termasuk salah satu perusahaan yang sekarang dipimpin oleh Pras sebagai CEO nya. Perusahaan 'Shopdis'. Perusahaan start up yang bergerak di bidang jual beli kebutuhan sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan dalam sistem online.

Perusahaan milik Hari Wardoyo ini diberikan dengan sukarela untuk Pras. Maka dari itu tanpa mengirimkan curriculum vitae (CV), interview, lalu di training untuk bekerja, Pras sudah langsung bisa mendapatkan posisi sebagai petinggi di perusahaan milik ayahnya ini.

Seharusnya Thabi bersyukur, kata orang begitu. Lalu apa yang harus Thabi syukuri kalau selama bersama Pras, Thabi tidak bisa menemukan kebahagiaannya?

"Doktel, kapan aku bisa pulang?" Suara anak kecil lelaki di hadapan Thabi menyadarkan Thabi pada kenyataan. Kenyataan kalau sekarang ia sedang memeriksa infus dan menyuntikkan beberapa obat untuk meredakan sakit yang sedang di rasakan oleh anak kecil lelaki itu. Davi namanya.

Thabi menampilkan senyum terbaiknya di hadapan Davi, "Hm ... Kayak nya dokter Thabi masih pengen lihat Davi di sini deh, sebentar lagi ya sayang. Seminggu lagi, Davi baru bisa pulang." Ucap Thabi memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak kecil seumur Davi.

Thabi bisa melihat eskpresi Davi yang berubah sendu dan menunduk. "Davi nggak mau lebih lama sama dokter Thabi ya?" Gantian Thabi yang mengerucutkan bibirnya, pura-pura sedih.

"Mau doktel. Tapi Davi kangen jajan es klim." Sahut Davi dengan suara cadel nya yang lucu.

"Nanti kalau Davi mau pulang, dokter Thabi beliin es krim buat Davi. Tapi tunggu satu minggu lagi, oke?"

Davi sumringah, ia mengangguk keras. Memeluk Thabi yang ada di hadapannya. "Makasih doktel abi."

Thabi balas memeluk Davi sambil mengelus rambut Davi yang ketika ia pegang, beberapa helai menyangkut di tangannya. Rambut Davi rontok karena sakit kanker yang di deritanya. Kanker otak yang di alami oleh Davi memang belum sampai pada tahap akut. Tapi rambut nya sudah mulai rontok dan Thabi harus selalu tersenyum ceria di depan Davi. Padahal aslinya Thabi selalu merasa semesta tidak adil karena memberikan cobaan penyakit pada anak seusia Davi yang bahkan belum genap 10 tahun. Kalau usia nya tidak lama lagi, kenapa Davi harus dilahirkan ya?

Davi melepaskan pelukannya dengan Thabi. Thabi sebisa mungkin menyembunyikan rambut rontok Davi di saku jas dokternya. Dan tersenyum lagi saat anak kecil itu menyodorkan jari kelingkingnya untuk membuat sebuah perjanjian.

"Janji ya doktel bakal beliin Davi es klim minggu depan?" Ucap Davi dengan jari kelingkingnya kecilnya sudah berada di depan Thabi.

Thabi mengangguk, "Janji." Semoga dokter bisa menepati janji dengan kondisi kamu yang sudah jauh lebih baik dari sekarang ya, Davi. Lanjut Thabi dalam hati. Tangan mungil milik Davi sedikit membuat hati Thabi berdesir. Kalau saja ia punya anak, pasti anak nya akan sama lucu nya dengan Davi. Jari kelingking mungil nya juga akan sama. Mungkin ya?

Ngomong-ngomong soal anak, Thabi berharap ia tidak semudah perempuan lain untuk bisa memiliki anak. Bukan, Thabi bukan tidak mau punya anak. Hanya saja dengan kondisi kehidupan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk seperti ini, Thabi tidak yakin memaksakan untuk bisa memiliki anak. Selain itu, ada beberapa hal yang membuat Thabi akhirnya memilih untuk menunda kehamilan. Tapi ya ... Semoga saja Thabi bisa merealisasikan planning nya dengan baik.

———————
©augustmyfav

Give me a feedback, please. Thank you!

Let's End This MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang