Setelah tiga tahun.
Wah ... akhir nya ...
Setelah hampir dua puluh empat jam perjalanan yang Thabi habiskan dalam penerbangan dari Bandar Udara Internasional Zürich sampai ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, akhirnya kaki Thabi bisa kembali menginjak tanah Ibu Kota negara nya juga menghirup udara yang selama tiga tahun ini Thabi rindukan.
Udara Jakarta.
Thabi berjalan keluar dari pesawat. Tangan kanan nya mendorong koper kecil dari cabin, sedangkan di depan nya dia menggendong bayi berusia dua tahun an.
Thabi tampak sedikit kesulitan sendiri dengan bawaan yang memenuhi kedua tangannya, sedangkan dia harus sembari menggendong anak nya di depan.
"Boleh saya bantu?" Suara dari belakang menginterupsi Thabi untuk menoleh, kemudian beradu pandang dengan Kale.
Hei! Kale!? Sudah lama sekali tidak bertemu sejak mereka tidak sengaja bertemu di salah satu kafe ketika Thabi tengah menghabiskan waktu sendiri sebelum pergi ke Swiss. Kale memang sedang sibuk sekali, dia sudah tidak lagi sengaja pergi ke rumah sakit sejak Thabi resign.
"Kalau repot tuh, minta tolong, Tha. Kamu tetap aja nggak berubah ya orang nya. Selalu nggak mau ngerepotin orang lain." Komentar Kale yang langsung meraih tas bayi dan koper kecil yang tadi di pegang oleh Thabi.
"K—amu abis dari mana?" Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Thabi.
Kale terkekeh, kemudian melangkahkan kakinya, Thabi yang melihat itu menyamakan langkah nya. "Dari Swiss juga." Jawab Kale menoleh sekali.
Hah?
"Urusan kerjaan." Lanjut Kale menyadari kebingungan Thabi. Takutnya dikira dia selalu mengintai Thabi sampai ikut ke Swiss kan bisa panjang urusannya kalau Thabi berpikir seperti itu.
Oh ... kebetulan sekali ya kalau gitu.
"Bayi yang lagi kamu gendong itu, anak kamu, Tha?" Kale bertanya sembari matanya menunjukkan bayi yang tengah Thabi gendong di depan.
"Anak maung. Ya anak aku lah, Le. Nggak mungkin dong anak maung beneran." Jawab Thabi sedikit sarkas.
Kale yang mendengar itu malah tertawa, "Widih! Biasa aja dong, Tha. Aku kan nanya baik-baik."
"Emang anak kamu sama ... siapa? Sori."
Kali ini Thabi memberikan tatapan sinis ke arah Kale. Lalu berhenti melangkah dan membuka kain gendongan yang menutupi wajah bayi di dalam gendongannya. "Coba kamu lihat sendiri, menurut kamu anak aku mirip siapa?"
Kale mendekat, melihat bayi yang lagi tertidur pulas di pelukan Thabi tersebut dan ... "THA!? KOK MIRIP PRAS!?" Matanya melotot saking kaget nya.
"Memang anak dia." Thabi kembali melangkah lagi. Meninggalkan Kale yang masih menganga syok. Maksudnya gimana sih? Bukannya mereka sudah bercerai? Bagaimana bisa?
"Kok bisa, Tha?" Kale masih syok. Dia bingung sendiri. Kan mereka sudah bercerai bagaimana bisa?
"Ya bisa, kan emang dia yang buat." Tanpa menoleh, Thabi tampak santai berbicara seperti ini.
Buat banget bahasa nya. Udah kayak adonan.
"Ya tapi kan kam—"
"Baru ketahuan seminggu setelah aku tinggal di sana. Di Swiss maksud aku. Sebagai dokter anak yang paling nggak aku pernah mempelajari sedikit tentang pembuahan pada seorang perempuan yang sudah menikah dan sudah melakukan itu bersama pasangannya, aku tahu kalau memang rata-rata 2-3 minggu dari kejadian itu baru bisa ketahuan ada bayi nya atau nggak. Berhasil atau nggak maksud aku." Jelas Thabi. Daripada Kale penasaran dan menuduh Thabi yang nggak-nggak. Jadilah Thabi yang lebih dulu menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's End This Marriage
ChickLitKehidupan setelah menikah itu benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan pasangan suami istri yang sebelumnya telah menjalin hubungan lama pun, bisa saja mengambil keputusan untuk bercerai. Seperti apa yang ingin dilakukan oleh seorang perempuan bernama...