Jendra's PoV
Aku terbangun dengan kepala sedikit berat. Pasalnya, kemarin malam menghabiskan banyak kaleng bir bersama Janu. Sekelebat, aku mengingat obrolan random bersama Janu semalam.
"Pa, tenang saja. Aku sudah ikhlaskan Narumi. Tapi, jangan sekali-sekali sakiti dia. Aku akan jadi orang pertama yang akan menghajar Papa!" Janu mengakhirinya dengan tawa keras, lalu setelahnya dia tidak sadarkan diri.
"Aku tidak akan sanggup menyakitinya, Janu. Tidak akan!" tanggapku, lalu ikut terpejam di sofa.
Pagi ini, Janu masih meringkuk di karpet bulu. Pria pengangguran itu tampak malas saat aku menyenggol tubuhnya menggunakan kaki, untuk segera bangun. Dia malah makin meringkuk seperti bayi.
"Ya, sudah, Jan. Saya harus pergi pagi ini. Mungkin sampai malam. Jika kamu sudah bangun, segera pergi dari sini!"
Dia hanya menggumam tidak jelas. Sementara, aku bersiap mengajak Narumi bertemu Mama. Agak jauh dari Ibukota. Butuh waktu berjam-jam ke sana.
Seperti rencana kemarin, aku pun izin tidak masuk kantor hari ini dengan alasan ada kepentingan keluarga. Ya, walaupun aku bosnya, tetap saja harus mentaati prosedur saat izin cuti.
Penampilan hari ini, aku memakai kemeja putih dan angkle pants berwarna kaki. Ya, tidak terlalu formal. Rapilah seperti biasa. Aku segera melajukan mobil menuju rumah Narumi. Rumah mendiang Ibu Raina itu sudah direnovasi. Walau bentuknya masih sama, sih. Hanya di beberapa bagian yang rusak diperbaiki.
Jarak apartmenku dan rumah Narumi cukup jauh, 35 menit lamanya. Ditambah hari Senin, bertambah sepuluh menit karena jalanan ramai.
Tiba depan pagar yang telah dicat hitam, aku segera turun. Baru akan melangkah masuk, pintu rumah sudah terbuka. Duh, mataku berasa silau, Narumi berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar. Dress renda selutut berwarna putih itu menambah kesan anggun. Dia melambai dan segera mengunci pintu, membuatku urung untuk melewati pagar.
"Mas kira kamu belum siap, ternyata sudah cantik saja," ucapku gak bohong. Narumi memang terlihat sangat cantik. Ya, hari lainnya juga cantik. Hanya saja hari ini terasa berbeda. Dia juga sengaja mencatok rambutnya agar bergelombang di bagian bawah. Ah, iya, kening! Poninya dijepit ke samping menggunakan jepit silver berbentuk pita. Dia terlihat lebih dewasa. Tapi tetap saja menggemaskan.
"Masih geli dengar Mas Jendra menyebut diri sendiri mas. Biasanya pake saya." Dia tertawa kecil. Gigi-gigi putihnya terlihat rapi.
"Harus membiasakan diri. Ya, sudah, kita berangkat sekarang? Atau mau sarapan dulu?" Aku bertanya sembari membukakan pintu mobil.
"Sarapan dulu, yuk! Aku belum sarapan."
"Oke, Sayang."
Aku segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Narumi. Kami memutuskan makan bubur ayam, kebetulan masih ada di daeerah yang sama dekat rumah Narumi. Suasananya cukup ramai.
"Yakin mau bubur ayam?"
"Iya, bubur ayam Mbak Siti enak, Mas. Mana porsinya gak pelit. Yuklah!" Dia keluar duluan.
Aku segera mengikutinya. Narumi tampak mengobrol dengan ibu-ibu penjual itu ramah. Sesekali dia tertawa sembari melirik ke arahku. Entahlah, apa yang dibicarakan. Aku tidak begitu menyimak karena keadaan ramai.
"Ini buburnya, Mas." Narumi menaruh mangkuk bubur ukuran jumbo. Benar. Bubur di sini porsinya sangat banyak dengan toping menutupi permukaan atasnya.
"Kamu habis?" tanyaku sembari menatap Narumi yang berbinar. Dia mulai mengaduk-ngaduk bubur menjadi satu hingga tak berbentuk.
"Habislah! Yuk, udah. Di makan, Mas!" katanya lagi. Dia sudah mulai menyuap bubur hingga kepalanya mulai bergoyang-goyang. Lucu sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hangatnya Ranjang Ayah Muda
ChickLitNarumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh-jauh sana!