Petaka Maghrib

6.4K 358 2
                                    

"Asholatukhoirunminannaaum"

    Suara Adzan subuh berbunyi memecah keheningan alam yang masih lelap.Itu suara Kang Rofiq , si Vokal Hadroh di pondok yang jadi arjunanya  para santriwati disini . Tapi bukan berarti aku masuk ke dalam daftar bocah bocah fanatik itu . Bagiku , it's not important . Aku pernah sih , pacaran sama kakak kelasku waktu SD , tapi setelah aku fikir fikir , kita itu belum mampu ngejalanin yang kaya gituan . Jadi , temen aku di semarang kebanyakan cowok , karena aku lebih asyik dan seru main sama mereka . Banyak yang ngatain aku kelainan , termasuk vani dan marwa yang cuma melongo waktu aku bilang "Gus Rofiq suara bagus ,wajah cakep , putra asatidz lagi , tapi ... apa fungsinya fanatik? Ndeso ! Norak ! Dia respons nggak? Enggak kan ? Lagian katanya santriwati , apa iya santriwatinya itu cuma sebagai stempel? Akhlaknya ? Nol . Jauh ." Kataku sok menceramahi , padahal aku juga tidak bisa tidak berhubungan dengan laki laki.Mungkin karena itulah , Bapak membuang aku disini . Aku sudah terlalu dekat , dalam artian teman , tapi meskipun begitu , kata neng Alfi itu tetap aja Zina . Yah , aku sedikit demi sedikit bisa menerima keadaan ini. Meski keinginan untuk kabur tetap ada .

Ini jum'at minggu ke 2 bulan ke 2 aku disini . Tapi , ini serasa dua abad . Kenapa ? Karena aku menjalaninya dengan terpaksa . Hanya ada satu kegiatan yang aku ikhlas lahir batin melakukannya : Jurnalistik . 3 hari lalu rapat pembentukan pengurus , aku masuk tim inti dan menjadi sekbid politik . Lumayan , nggak terlalu berkutat sama kitab . Bahannya cukup dari perpustakaan , dan selebihnya pemikiran ku sendiri.Hal itu membuat kenakalanku sedikit bisa dinetralisir , meskipun membolos ngaji masih sering aku lakukan . Apalagi pengajian bandongan pagi kitab Hadits , kiyainya Pak Rosnan . Sebel banget ,  mana arab pegon masih grotal gratul . Aku selalu ketinggalan . Pernah tuh ,  Geng JM disuruh maju karena ngomong sendiri . Akhirnya Marwa baca duluan .

"Inna sesungguhnya al iman iman itu , apaan ini ? Salah cetak pak kiyai" dia berbicara lantang di depan semua santri . Pakai mic lagi! Sontak semua santri tertawa 

"Lho salah cetak apane?" Pak Rosnan membetulkan letak kacamatanya yang melorot . Mungkin ada yang salah karena matanya sudah mata tua .

"Ini lho pak , masak huruf tsa titik tiganya dibawah . bukan diatas ."
Marwa berujar PD . Merasa dirinya bisa menemukan kesalahan dari percetakan 

"Oalah lha dalah to cah cah . Lha iku lah pegon . Neg ngono kui mocone "nya" . Ngajimu kurang temen kui nduk" Pak rosnan geli sendiri .

Ku lirik wajah marwa , widih , kayak tomat abis direbus -Merah Mbledrek-

Kami juga pernah disuruh Nariyahan 1000 kali sambil teriak teriak di depan ndalem , sampai sampai Pak Rais , pengasuh pondok , suaminya Bu nyai keluar dan bingung . Siapa yang nyuruh hukuman seperti ini? Saya sedang maknani kitab . Nggak bisa tenang . Kata pak rais waktu itu . Kami bertiga serentak menjawab "Mbak sarah , pak kyai" . Mbak sarah pun di panggil . Dan karena suara mbak sarah bagus , dia disuruh menggantikan kami sambil menggendong Umar , cucunya pak rais hingga tertidur . Kami tersenyum merdeka dan memberi kedipan manis untuk mbak Sarah . Mbak sarah reflek langsung memunculkan wajah superduper horor dengan mata melebar dan hidung kempas kempis . Sebenarnya ini nggak horor ,  malahan kata vani mbak sarah jadi mirip lek sariyah penjual lombok yang cerewet dan rempong di pasar belakang pondok .

Dan yang paling parah adalah , kita kabur keluar pondok di pasar alias mbedhal . Kami kena ta'zir bersihin kolah timur . Waktu itu kami pulang sekitar habis maghrib . Jadilah hukuman itu kami selesaikan sekitar sampai jam 10 malam . Esoknya aku demam tinggi . Aku emang paling nggak tahan sama dingin .
Bu Nyai langsung mengabari bapak dan mama , dan mereka tiba di pondok subuh harinya .Aku kaget setengah mati ketika melihat mama mengenakan jubah serba hitam seperti neng Alfi.Hanya saja mama tidak mengenakan tutup muka.
Langsung ku peluk mama , dan kyai Rais mengobrol dengan bapak diluar . Mereka tampak akrab , seperti ayah dan anak sendiri . Ammah (umi) langsung menceritakan semua yang aku alami pada Mama , termasuk ta'zir yang belasan kali ku terima. Baru kali ini aku merasa rikuh dengan Mama , Terutama Bapak . Bahkan sampai mereka pulang pun , hanya salam yang ku ucapkan pada Bapak .
Entah kapan aku bisa menerima keadaan ini , bagaimanapun juga mereka telah 15 tahun merawatku , menyekolahkan ku , tanpa biaya sepeser pun ! Tapi , apakah itu sebanding dengan kematian umi dan abiku? Enggak! Aku yakin kecelakaan itu karena bapak ngebut , dia memang sembrono kalau nyetir mobil .

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang