Sebuah Jalan

4.3K 277 12
                                    



Ini hari ke empat setelah kematian Bapak. Mendung masih menyelimuti keluargaku. Terlebih Mamah. Kondisinya kian mengkhawatirkan. Mamah hanya mau makan dua hari yang lalu. Selebihnya hanya minum, dan mengurung diri didalam kamar. Sedangkan aku? Aku baik baik saja. Tak semenyedihkan Mamah. Aku sudah sering kan mengalami kehilangan? Kehilangan mimpi-mimpi waktu pertama kali di pondok. Tapi sekarang nyatanya aku bangkit. Yang baru aku sadari ialah, mimpi mimpi itu masih sama adanya, hanya jalan menujunya saja yang berbeda. Tapi ada satu hal yang aku lupakan, kini aku telah kehilangan pembangkit mimpi-mimpiku. Beliau telah tiada. Selamanya.

Aku tengah mengotak-atik laptopku sebelum aku menemukan sebuah tulisan semacam pesan disana. Ada satu folder asing yang tak kukenali. Disana ada beberapa foto bapak, foto masa kecilku, dan foto mamah saat belum berhijab. Ada satu file ms word bernama "Surat buat Aisyah" disana.

Hanya membutuhkan waktu sepersekian menit, rasa penasaranku kambuh. Dengan cepat segera ku klik dua kali pada file itu.

Teruntuk ananda Aisyah

Putri kebanggaan Bapak.

Jantungku serasa dipompa lebih cepat. Lihatlah disana ada terpampang jelas foto-fotoku ketika masih dalam gendongan Mamah. Masih bayi.

Mungkin sekarang ini, Bapak menjadi orang paling beruntung di dunia ini syah, memilii putri yang lucu, cerdas, lincah dan menggemaskan. Bapak berhutang banyak pada Abimu karena telah mengikhlaskan putri satu-satunya pada Bapak.

Waktu kamu masih kecil, syah.. Bapak sering ajak kamu ke makam Abi dan Umimu. Kau tentunya belum paham siapa mereka sebenarnya, karena saat itu , sebutan 'Bapak' hanyalah kau tujukan padaku. Tapi bapak tau syah, kelak kau pasti akan mengerti.

Dan itulah saat yang Bapak takutkan syah. Bapak takut kehilanganmu. Dan nyatanya, memang benar, kamu pergi ke tempat itu syah. Ke Pesantren milik kakak Abimu.

Bapak ingin jujur sedari dulu syah, tapi bapak yakin, dengan sifat keras kepalamu tak mudah untuk memberi kamu pengertian. Sekarang lihatlah, semuanya telah terlanjur terjadi.. Sejujurnya, bapak menyesal mengikuti apa mau Mamahmu. Mengembalikan kamu ke pesantren. Dengan tujuan lepas dari tanggung jawab. Kamu masih ingat surat yang diberikan Mamah waktu pertama kali kamu di pesantren ? Soal kamu bukan anak kandung kami? Itu ada bagian yang dikarang Mamah syah. Kau tau mamahmu begitu mudah membuat skenario yang berbeda. Mendramastisir.

Baiklah , hari ini hari ulang tahunmu yang ke 17. Bapak yakin kamu sudah pantas mengerti hal ini. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Kamu memang bukan anak kandung kami, kamu adalah putri dari Abimu, adik pemilik pesantren terbesar di jawa timur. Abimu adalah seorang cendekiawan, dia cerdas. Telah melanglang dunia hanya untuk mencari ilmu.

Tapi soal kecelakaan itu.. Bohong syah. Coba kamu fikir, apa ada orang dengan semudah itu memberikan putrinya kepada orang yang tidak dikenali? Tidak ada orang tua yang seperti itu syah.Tak akan ada. Dan inilah, kenyataan yang disembunyikan Mamahmu adalah Bapak dan Abi masih satu keturunan. Kami berasal dari buyut yang sama, akan tetapi karena orang tua bapak yang tak punya pikiran, maka sejak saat itu nasab kita tercerai berai. Nama baik keluarga tercoreng karena perilaku ayah bapak yang tidak seperti manusia. Penjudi, pemabok, pemain wanita.. Naudzubillah..

Sejak saat itu Bapak memutuskan tinggal di pesantren milik Mbah, ayah dari ayah bapak dan kakak abimu. Bapak samasekali tak peduli dengan rumah. Hingga beberapa bulan kemudian, Bapak mendengar kabar Ibu bapak dibunuh oleh ayah bapak sendiri. Kebencian itu makin meluap syah..

Bapak sakit hati...

Kenapa ayah bapak yang keturunan ulama bisa bersikap seperti itu? Itulah pertanyaan yang hingga kini belum terjawab.

Hingga ada suatu kejadian besar dipesantren yang tak akan pernah Bapak lupa. Bapak di fitnah mencuri kotak amal masjid oleh sahabat bapak sendiri, yang kelak kamu akan tahu siapa orangnya. Buyutmu itu, pemilik pesantren marah besar. Dihadapan semua santri dia menuding bapak dan membawa-bawa nama ayah bapak yang amoral. Bapak malu. Bapak dipukuli , dan dikeluarkan secara tidak hormat.

Sejak itu,Bapak benci dengan yang nmanya pesantren.

Bapak pergi kesemarang dan bertemu dengan Mamahmu disebuah acara talkshow. Bapak jatuh cinta pada Mamah, dan sebulan kedepan, kami menikah.

Satu tahun menunggu, tak kunjung datang bauh hati yang kami inginkan.

Dua tahun, tiga tahun, hingga enam tahun lamanya, tak ada kabar baik tentang kehamilan Mamah.

Hingga Bapak berpikir, untuk mendatangi pesantren lagi dan memohon kepada kyai. Dan dipesantren, bapak bertemu dengan orang yang dulu memfitnah bapak. Rasa sakit hati ini kembali muncul syah, Bapak bahkan sudah hampir pulang setelah berjalan 5 km demi mencapai pesantren ini sebelum dia bersujud dikaki bapak.

Bapak jijik. Bapak sama sekali enggan melihat wajahnya yang sok suci, munafik ! Pak kyai yang melihat kejadian itu., sgera mengambil andil. Bapak dinasihati habis-habisan. Hingga.. Kesepakatan itu bapak ambil.

Bapak akan ,memaafkan dia asalkan dia berkenan mmberikan anaknya kepada Bapak.

Sampai sini...

Tulisan itu berhenti sampai disitu. Alisku berkenyit. Aku mencoba memahami cerita yang ditulis Bapak.

Jadi maksut bapak, Abi yang telah memfitnah bapak ? Lalu kenapa bapak mengembalikanku ke pesantren lagi???

Arrgh aku pusing memikirkan segalanya.

Di pondok, imtihan telah dimulai. Informasi yang aku dapatkan, tidak ada uian susulan untuk program tahfidz dan salaf karena ujian itu serentak dilaksanakan seprovinsi jawa timur khusus untuk pondok pesantren yang memang memiliki tiga kurikulum itu.

Aku putus asa.

Mungkin tahun ini hanya selembar ijazah SMA yang akan ku terima. Sisanya , mungkin mengulang.

Kemarin Vani menelponku, mengabarkan Neng Alfi jatuh sakit dan sangat mengkhawatirkanku. Berita kematian Bapak juga sudah terdengar di keluarga pesantren, Katanya hari ini Abah dan Umi akan kesini.

Keadaan Mamah juga sudah agak mendingan, tadi pagi dia sempat mengomeliku gara-gara ngrebus air lupa matiin kompor. Terauma yang dialami Mamah masih begitu jelas terekam dalam tiap tingkahnya.

Matahari sudah hampir tumbang di ufuk barat ketika sedan berwarna putih itu parkir tepat di halaman rumah Tanteku_Rumah yang ku tinggali sekarang. Itu Abah sama Umi, dan Akbar. Tetapi tidak ada Neng Alfi. Mungkin ia masih sakit.

Setelah mengobrol banyak mengenai bapak, aku memberanikan diri untuk bertanya soal nasib ujianku di pondok. Abah berdehem pelan. Suaranya mengingatkanku pada saat sidang di pondok waktu tahun pertamaku dulu.

"Untuk UN tentunya kamu masih bisa menyusul Syah, Untuk ujian pondok kamu juga masih bisa menyusul meskipun tingkatan soalnya akan lebih rumit. Tapi untuk simakan hafalanmu, ujian Tahfidzmu.. Sebenarnya itu hal yang tak boleh kamu tinggalkan. Ujian itu hanya boleh dilakukan sekali dan tidak ada susulan. Tapi pondok As salafiyah memberi keringanan padamu. Kamu akan tetap mengikuti ujian, dan juga tetap mendapatkan selembar ijazah. Tapi , ujianmu akan dilaksanakan sehari sebelum Akhirussanah. Dihadapan semua santri" Dawuh Abah.

Aku berpikir sejenak, menimang-nimang. Apa aku berani? Sendirian? Ini sama saja aku disuruh pidato waktu kelulusan dulu.

"Udah syah, gakpapa.. Nanti Mamah dateng kok" Mamah mencoba membujuk.

Dengan agak ragu, aku menganggukan kepala petanda setuju. Yah, akhirnya aku akan berpadat-padatan dengan jadwal ujian baruku- yang tentunya waktunya tak selama ujian yang dilakukan secara serentak-.

Esok pagi. Aku akan kembali ke pondok As Salafi. Menerbangkan angan-anganku yang mulai kabur di langit pondok, tepat diatas jemuran.

/Y

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang