Ma'hadi.. Baiti.. Syauqi..

4.5K 289 1
                                    


Mobil yang kutumpangi merayap perlahan memasuki gapura besar di perbatasan jawa tengah-jawa timur. Bukan Bapak yang menyetir mobil ini __kalau Bapak yang menyetir tak akan sehalus ini. Tapi Gus Adnan.

Subuh tadi, Marwa sudah pulang ke solo dijemput tantenya. Sedangkan Vani berangkat ke pondok besok, hari ini dia akan touring bersama orang tuanya yang datang jauh-jauh dari Bandung. Walhasil aku kembali ke pondok bersama Neng Alfi dan Gus Adnan__diantar Bapak dan Mamah.

Jalan sudah mulai berkelok. jarak Pondok As salafiyyah tinggal seperempat jam lagi. Entah kenapa rasanya aku tak sabar ingin segera sampai di pondok. Rindu teman-teman yang konyol, rindu rebutan makanan, rindu menyela antrian mandi, rindu tidur sembari antri mandi, rindu jantung yang dag dig dug ketika nggak sengaja bertemu santri putra, rindu ... Nongkrong diatas jemuran.

Sayangnya untuk ajaran baru tahun ini, asrama santri akan diacak. Jadilah aku harus terpisah dari Vani, dan Neng Alfi di ghurfah 26. Kalau cuma pindah kamar mungkin masih mudah untuk berkumpul, kalau pindah komplek... Jadi takut kalau Geng Jemuran tak akan sedekat 2 tahun terakhir ini.

Toh, di Semester ini kita akan sangat sibuk. Mempersiapkan imtihan akbar. Ujian di Pondok, ujian di Madrasah, dan ngebut hafalan kalau mau tahun ini lulus mendapat tiga predikat : Santri Wisudawati, Calon Mahasiswa, dan Hafidzah Quran. Sebenarnya didalam hati ini ada sedikit rasa ragu, tetapi melihat semangat Vani yang sedemikian besar membuatku turut bersemangat. Meski aku akan agak kesulitan belajar di bidang perhitungan, karena tidak ada Marwa disini. Dulu semasa marwa masih di pondok, dia yang paling jago matematika. Sayangnya dia harus pindah ke solo demi mengabdi pada orang tuanya.

Seperempat jam berlalu. Gerbang megah pondok As salafiyyah siap menyambutku. Aku tersenyum kecil. Rasa tak sabar kembali muncul dihatiku.

Suasana pondok masih sama. Meski belum begitu ramai__karena sebagian besar santri masih liburan__ tapi sayup-sayup nadzom Alfiyyah tertangkap telingaku. Simaan Quran oleh Mbak-mbak pengurus juga turut menghidupkan suasana pondok.

Gus Adnan menghentikan mobil tepat di halaman ndalem. Dari dalam, mbak-mbak khodimah menyambut kami. Ada sedikit rasa haru ketika menyadari bahwa keluargaku merupakan satu garis keturunan dengan Abah Yai.

"Eee... Besan dari Semarang to" Umi keluar sembari menggendong Umar. Dengan gaya khasnya yang renyah, ceriwis, dan ramah Umi langsung mempersilahkan kami masuk. Kemudian memberi isyarat pada mbak-mbak khodimah untuk membuatkan minum.

Aku meringis sendiri, Besan dari Semarang ? Ya Allah apa sih maksut semua ini. Kenapa Engkau hadirkan sosok yang berjanji akan menikahiku selepas Aliyah padahal aku tak memiliki ikatan apapun dengan dia? Kenapa hatiku mudah sekali terikat? Aku takut jika suatu saat nanti takdir berkata lain dan aku menjadi orang yang pertamakali kecewa. Akku takut jika..

"Heh malah ngelamun, Ayo masuk" Tarikan lembut Neng Alfi membuyarkan lamunanku. Aku mengekor dibelakang Neng Alfi,

"Mah, aku langsung ke pondok ya?" Bisikku pada Mamah.

"Hus, disini dulu lah. Kamu ini selalu nyeleneh"Balas Mamah.

Gus Adnan senyum-senyum sendiri diseberangku. Sepertinya dia mendengar apa yang ku bisikkan pada Mamah. Hh, awas saja ya Gus!

"Eee.. Rombongan dari Semarang to" Abah keluar dan langsung memeluk Bapak dengan hangat. Seperti saudara kandung yang lama tak bertemu. Kemudian tersenyum pada Mamah, dan menangkupkan kedua tangan didadanya.

Neng Alfi sudah masuk ke dalam bersama umar. Tinggalah diruang luarga ini aku dan Gus Adnan_beserta Mamah, Bapak, Abah, dan Umi__. Sepeti mau lamaran saja. Ups

Obrolan membosankan itupun hanya membahas seputar pondok, kegiatannya, dan Umi menceritakan beberapa kenakalanku pada Mamah dan Bapak. Juga tentang studi gus adnan dimesir. Semuanya terkesan basa-basi.

Dan akhirnya Bapak berpamitan pulang. Ku antar mereka sampai halaman rumah umi. Mereka melambai kepadaku.

"Aisyah, serius belajar, jangan mudah terlena oleh apapun" bisik Mamahku sebelum mobil mereka merayap meninggalkan pondok As Salafiyyah.

**

"Syah bangun!! Ayo ngaji" seseorang menggoyang-goyangkan badanku pelan.

"Ahh, aku ngantuk" balasku.

"Kena takzir mau?"

Hap! Aku langsung sigap dan memakai sembarang kerudung mendengar kata 'takzir'. Hal yang dulu menjadi rutinitasku, kini aku tak ingin dekat-dekat dengan satu kata terhoror di pondok itu.

"Heh jangan ghosob donk" Sari, teman satu kamarku kini, ngedumil dan merebut kerudungnya yang sudah kupakai.

Aku nyengir dan minta maaf.

"Lagian tu, sholat subuh dulu kek. Malah main pakai kerudung orang" Sari memanyunkan bibirnya.

Mbak Leni tertawa geli disudut lemari.

"Makanya, ayo jamaah dulu, kali ini aku deh yang jadi imam"tawar mbak leni halus.

Yah. Inilah kawan-kawanku sekarang dikamar. Ada mbak leni yang keibuan, ada sari yang sengak, dan satu lagi yang belum datang dari liburan, farah namanya. Aku berdoa didalam hati semoga Farah ini waras orangnya. Aku takut jika ternyata Farah itu orang yang suka bikin onar kayak aku dulu. Jadilah kamar ini menjadi kamar terheboh sekomplek. Nggak Nggak! Aku nggak mau.

Kegiatan pondok sudah berjalan normal. Dua minggu berlalu dan aku semakin cinta saja pada pondok ini.

Aku mencintai segala yang ada disini. Di pondok ini, ada berjuta hal yang tak akan bisa kudapatkan diluar sana. Sungguh,menjadi santri itu salah satu nikmat Allah yang perlu disyukuri, bagaimanapun keadaanya.




LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang