Balada Ujian Hidup

4.2K 267 11
                                    

Kegiatan di pondok benar-benar menyita tiga perempat waktuku. Tak adalagi acara nongkrong di jemuran, tak ada lagi acara menggojlok santri baru, tak ada lagi waktu untuk berleha-leha.

Imtihan Akbar di depan mata.

Satu persatu siswa kelas XII dan santri kelas ulaa memilih menempati gedung intensif yang baru di bangun di sebelah utara asrama al fattah, asramaku 2 tahun lalu. Cukup strategis karena memang letaknya agak pojok dari aula -pusat segala kegiatan pondok dan madrasah-. Gedung ini dibangun sengaja untuk kami yang menginginkan suasana tenang untuk belajar.

Hafalanku sejauh ini aman. Kurang dua juz lagi, jubah surga itu akan ku hadiahkan pada Abi, dan Umi. Tugas proyek untuk syarat mengikuti UN sudah kuselesaikan dalam tempo 2 minggu. Ajaib ! Ini pasti berkat bakat menulis yang diturunkan Mamah. Sejak kecil Mamah memang selalu menceritakan beragam cerita karangan mamah sendiri. Mamah itu... Perempuan yang hebat. Pintar bercerita, mengarang, dan berbicara.

Aku menganggap semuanya akan berjalan mulus mengingat dua hal yang sudah berhasil kulakukan tersebut.

Hanya saja, semua tak selalu berjalan sesuai harapan. Badai itu menerjang begitu cepat.

"Kemasi barang-barang mu dan segera pulang" Suara Mamah terdengar parau di ujung telepon.

"Ada apa Mah? Aku sedang mempersiapkan ujian praktik di madrasah? " Aku tetap bertanya santai, tak mengerti ada sesuatu yang tak terduga di Semarang sana. Aku cukup hafal sikap mamah, melebih-lebihkan segala sesuatu. Jadi tak perlu turut panik menyikapi hal ini. Mungkin saja, Mamah sedang kebingungan dengan tugas siarannya. Tapi menyuruhku pulang?

"Jangan banyak tanya. Segera kemasi dan segera berangkat" Tandas Mamahku. Sikap santaiku tak mneyurutkan kepanikan Mamah.

Ada apa sebenarnya? Bagaimana ujianku?

Suasana didalam travel begitu panas. Keringat dingin mengaliri dahiku yang sebenarnya merasa gerah. Ada perasaan khawatir luar biasa yang menjalar di pikiranku.

Ada apa?

Tanda tanya itu bertebangan di awang-awang.

Apa Mamah hamil lagi? Nggak mungkin. Usianya sudah 50.

Apa Mamah dipecat? Kenapa harus sepanik itu?

Apa ada maling di rumah ?

Atau jangan jangan...

Bapak?

Hap! Sosok bertubuh tegap yang mulai ringkih itu melintas cepat diingatanku.

Apa ini soal Bapak? Kenapa? Bapak sakit ? Setauku bapak sehat-sehat saja. Dia rajin menggosok gigi tiap pagi dan olahraga malam sebelum tidur.

Tapi apa hal itu mampu mencegah bapak dari penyakit?
Ah... Segalanya begitu transparan. Mamah selalu berteka-teki. Kenapa tidak bilang saja apa yang terjadi , jadi aku tak perlu mengeluarkan beragam prasangka untuk memuaskan rasa penasaranku?

Travel milik pondok ini merayapi malam yang dingin. Sore itu setelah menerima telepon panik dari Mamah aku langsung berkemas. Tak memberi kabar pada siapapun, kecuali Mbak Aulia-pengurus perizinan kepulangan santri-.

Semoga saja... Hanya rasa khawatir efek dari sikap mamah yang berlebihan.

"Desa Plamongan Sari, Neng? Sudah sampai" Bapak-bapak yang menjadi supir travel itu membangunkanku.

Pupil mataku berusaha menyesuaikan intensitas cahaya. Pusing melandaku. Seberkas sinar matahari di ufuk timur menerobos kaca travel, menyilaukan pandangan.

"Monggo Neng"Bapak itu kembali menegurku.

"Eh, ya Pak. Matur suwun nggih" ucapku tergagap.

Gapura besar desaku yang berbentuk masjid masih tampak gagah. Dulu, sungai dibawah gapura ini menjadi saksi bisu kenakalanku. Disinilah aku sering menghabiskan waktu untuk nongkrong dan nyerok ikan cithul.

Jalanku agak sempoyongan. Pusing karena perjalanan semalaman ditambah dinginnya angin malam membuat badanku tidak enak. Rasa khwatirku belum hilang sama sekali. Hawa dingin merasuk ke dalam kaos kakiku lewat rumput-rumput kecil yang terinjak kakiku.

Jalanan agak becek. Semalam pasti hujan.

Jarak rumah tinggal 400 m lagi. Entah mengapa rasanya aku semakin was-was. Astaghfirullah.. Semua akan baik-baik saja isy. Yakin..

Drrt.. Drtt..

Handponeku bergetar pertanda sms masuk. Dari kak fathur?

"Langit masih berwarna biru. Pelangi masih bisa terlukis. Mendung pasti kan berlalu. Jangan meredup ya, Matahari"

Dahiku berkerut. Heran . Apa maksutnya?

Banyak hal yang membuatku berteka-teki. Sepertinya semua akan terjawab jika aku segera sampai rumah.

Ku percepat langkah kakiku. Dadaku berdetak cepat. Dan..... Ya Allah.. Itu rumahku.. Rumah keluargaku..

Allah...

Bayangan hitam menyeruak cepat difikiranku. Firasat-firasat buruk silih berganti memenuhi benakku. Mamah? Bapak? Dimana kalian .. Ya Allah..

Aku tidak kuat lagi .. Dan

Brukk...

"MasyaAllah Aisyaaah !!!"

*****

"Aisyah sudah sadar Mah?" Suara berat yang kuduga milik laki-laki itu menyita separuh perhatianku.

"Ndak tau nang, ini kok masih riyip-riyp gini. Mungkin dia terlalu shock" Mamah menyahut.

Aku mengerjapkan mataku pelan. Mengondisikan seluruh komponen ditubuhku yang ketika melihat hal itu menjadi rusak seketika. Mamah tersenyum menyambutku.

"Maafkan Mamah ya" Mamah terisak.

Aku mencoba menenangkan diri walau sebenarnya beribu pertanyaan sudah siap ku tembakkan pada Mamah.

"Mamah yang salah isy, Mamah teledor. Mamh lupa mematikan kompor" . Nah, satu pertanyaan terjawab.

Saat itu, setiba aku dihalaman rumah aku langsung terbengong-bengong melihat rumahku yang tinggal hamparan tanah seluas 400 m dengan bau gosong disana-sini. Tak ada sisa bangunan pun tersisa. Aku shock. Pikiranku sudah menebak kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi. Bukan tentang Mamah, karena Mamah jelas-jelas yang menelponku kemarin.  Berarti dia baik-baik saja. Tapi Bapak, dimana ia?


"Mamah tak bisa menyelamatkan apapun, siapapun" tangis mamah makin menjadi. Satu pertanyaanku terjawab lagi. "Tak bisa menyelamatkan siapapun". Itu berarti Bapak?

MasyaAllah.. mengapa harus secepat itu Engkau mengambil Beliau Ya Allah?

Aku belum lagi sempat bersenda gurau dengan Bapak. Lomba menyomot gorengan dengan jumlah lombok terbanyak, Heboh nonton bola bareng, Lari kalau dicium Bapak karena geli dengan kumisnya , Ya Allah... kenangan itu...

Aku merasakan nyeri yang teramat sangat dalam hatiku. Air mataku menetes perlahan , mengaliri pipiku. Dadaku serasa dihimpit berjuta ton besi, sesak. 

Bapak....

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang