(Masih) Tentang Dia II

3.8K 264 13
                                    



Seharusnya hal ini tak terjadi di saat aku harus fokus dengan ujianku. Aku benar-benar butuh sesorang yang bisa membuat hatiku lega.

Mamah !

Tapi apa aku harus mengatakan segalanya pada Mamah ? Nanti apa yang akan dia katakan? Pasti ngomel.

Aku berjalan dengan malas menuju wartel untuk menelfon Mamah. Persetan dengan biaya yang lumayan mahal. Aku cuma pengen hatiku lega. Aku nggak mau ujianku berantakan gara-gara gus adnan maupun kak fathur. Tidak. Tidak akan!

Wartel itu terletak di dekat koperasi induk pondok. Di sebelah selatan Masjid dan berhadap-hadapan dengan Ndalemnya Umi.

Begitu memasuki wartel, aku segera memencet beberapa digit nomor di atas tombol putih bersih itu.

Nada terhubung berbunyi. Tak lama, seseorang menyahut.

"Assalamualaikum, siapa ini?"

"Wa'alaikumussalam. Aisyah Mah"

"Aisyah? Bagaimana ujianmu? Oh iya Mamah lupa. Selamat ulang tahun yang ke 18 ya isy. Semoga kamu tambah dewasa dan makin sholehah. Tercapai semua yang kamu cita-citakan.Maaf baru mengucapkan. Mamah hanya takut mengganggu konsentrasimu"

Aku mengamini dalam hati. Sejenak terdiam.

"Apa aisyah baik baik saja?" suara itu terdengar mencemas di seberang sana. Tak ada unsur lebay sedikitpun. Mamah, pasti tau apa apa telah terjadi padaku.

"Mah, apa yang menjadi tolak ukur sebuah kedewasaan?"pertanyaan itu meluncur begitu saja.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"jawab mah, itu salah satu soal imtihan. " jawabku datar.

"mana ada soal imtihan seperti itu. Kamu ini. Baiklah, menurut mamah, kedewasaan bukan hanya soal umur, bukan hanya soal sikap dan perasaan. Dewasa itu mengenai pola pikir. Juga mengenai seberapa tangguh kamu dalam menghadapi ujian hidup. "

"bagaimana dewasa soal pernikahan?"

"MasyaAllah aisyah, kamu mau nikah?" tanya mamah kaget.

"Pelajaran fiqh mah"jawabku bohong lagi.

"ya.. Mamah tidak tau."

"mah, apa aisyah sudah dewasa?" tanyaku pelan.

Suara diseberang terdiam.

"mah?"

"Kamu sudah dewasa jika kamu mampu memahami rahasia besar didepanmu, yang bahkan tak pernah kau sadari keberadaannya" Mamah menutup telepon.

Diluar, kudengar surat tagihan tercetak. Dua puluh lima ribu. Tidak begitu mahal.

Rahasia besar? Apa? Ada yang bisa memberi tahuku?

******

Setelah aku melewati imtihan di pondok , seminggu berikutnya aku harus memeras otakku untuk ujian akhir madrasah nasional (UAMBN) susulan. Aku hanya kesulitan di hari ketiga, dimana itu adalah hari aku harus berhadapan dengan matematika. Entah kenapa aku benci dengan perhitungan memusingkan itu. Ketimbang angka, aku lebih menyukai kata kata. Bagiku angka hanya bisa menetapkan, mengambil keputusan, tanpa peduli kata kata yang sibuk mendiskripsikan.

Seminggu terlepas. Dan masa perjuanganku tinggal empat hari lagi. Khotmil quran..

Aku tengah memperhatikan layar kosong di laptop dengan kursor yang berkedip-kedip di layar. Tak ada sepatah katapun tertulis disana. Padahal, aku diminta membuat puisi untuk acara wisuda setelah khotmil quran selesai.

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang