Dia kembali, Aku (juga) akan

4.1K 286 13
                                    



Aku membuka mataku perlahan. Tiada siapa-siapa. Ruangan putih ini begitu mencekam. Bau khas yang amat ku benci ini langsung menyergap organ pernapasanku. Sesak. Dadaku sakit. Tidak tidak. Bukan sakit seperti biasanya yang kubuat dengan alay, ini nyeri sungguhan.

Kenapa aku di rumah sakit?

Pertanyaan itu hanya mengendap di benakku. Mau bertanya pada siapa? Tidak ada siapa-siapa disini.

Aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Melewati cermin, aku memandangi wajahku sendiri. Pucat. Seperti rembulan kesiangan. Tidak ada gairah disana. Menyedihkan.

Tes. Cairan merah itu membasahi baju biru muda rumah sakit yang ku kenakan. Mengalir begitu saja dan detik berikutnya, cairan itu sudah menggenang di westafel.

MasyaAllah.. Mimisan.

"Syah.. MasyaAllah kok kamu bangun gak bilang-bilang sih.." Vani yang melihatku tengah berkutat dengan darah di westafel mendelik di ambang pintu. "Kamu mimisan lagii..." Lanjutnya sembari memberiku tisu.

"Kok aku dirumah sakit sih Van? Khotmil Qurannya gimana? " Tanyaku setelah mimisanku berhenti.

"Biasa kamu kan suka pingsan gak jelas"

"Khotmil Qurannya gimana?"

"Ya ini kan masih jam 10 pagi. Acaranya ba'da ashar kan."

"Alhamdulillah berarti aku masih bisa ikut ya.." Aku menghela nafas lega. Hampir saja aku melewatkan saat terbahagia ini. Menyaksikan mekarnya hafidzah-hafidzah baru.

"Bisa donk, ikut ke Semarang maksutnya.." Mamah masuk dan menenteng beberapa koper.

"Hah? Bercanda ah Mah!"

Mana bisa, aku kan belum di wisuda. Mana bisa langsung pulang gitu aja. Gak ini gak bisa dibiarkan.

"Mamah sudah urus semua surat-suratnya Aisyah.. Tiket pesawatnya juga sudah dibeli, sehabis dzuhur nanti kita ke Semarang ya sayang.." Mamah berucap dengan nada yang lain. Jika aku analisa, disana tersurat kegelisahan, dan kekhawatiran.

"Baik baik, aku mau ke Semarang, Tapi aku kan harus pamitan dulu ke pondok sama Abah, Umi, Neng Alfi, Marwa, temen-temen kamar juga Mah.. Ya ya ya?" Aku sedikit merayu. Kali aja setelah diperbolehkan pamitan ke pondok, bajuku nyantol di jemuran gitu jadi aku nggak bisa gerak kemanapun dan tetap di As Slafi. Yeay ! Ide bodoh !

"Nggak perlu, mereka disini kok." Mamah berucap dan memberi isyarat kepada Vani untuk memanggil orang-orang itu.

Marwa, Neng Alfi beserta Umar masuk dengan mata sembab. Hei ada apa ini?

"Ya gimana kita gak nangis, aku balik ke As salafi, eh malah kamunya ngeloyor pergi ke Semarang. Nanti yang jailin kita siapa donk? " Marwa bicara tanpa menatapku.. Aku malah jadi pingin nangis juga.

Tapi anehnya, nggak bisa. Bukan airmata yang keluar, tapi senyum yang mendadak membuat tubuhku nyeri semua.

"MasyaAllah syah" Semuanya berteriak kaget setelah mendengarku mengaduh kesakitan. Mimisan lagi.

Aku jadi takut, jika ada hal buruk __lebih buruk ketimbang janji busuk Gus Adnan__ menimpaku. Rabbi, aku masih boleh jadi wartawati kan?

***

Aku sudah meninggalkan jawa timur menuju kotaku, Semarang. Padahal jujur, hal yang ingin aku lihat saat ini adalah senyum Gus Adnan. Aku bodoh, ya ? Sudah di khianati, tetap saja cinta.

Harusnya aku juga bisa. Jika hari ini dia sibuk menyiapkan lamarannya, harusnya aku... Hei? Tiba-tiba aku teringat kata-kata Mamah.

"Mah.. Apa aku diajak cepat-cepat ke Semarang karena ada kaitannya soal khitbah itu mah?"

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang