Mozaik Hidup

3.7K 289 2
                                    


"Aku bersyukur memiliki putri yang cerdas sepertimu" Lelaki itu mengusap ubun-ubunku dengan lembut. Aku mendongak. Abi?

Spontan aku memeluknya. Erat. Erat sekali. Ada rasa rindu yang tak terbantahkan mengisi relung hatiku.

Lalu ada satu rengkuhan lagi yang menambah kehangatan ini. Umi?

MasyaAllah.. Umi begitu anggun dengan gamis putih yang berkemilauan itu. Ada untaian mutiara dan satin berenda emas pada selendang yang umi sampirkan di bahunya.

"Terimakasih Syah, Engkau telah memberikan pada Umi dan Abi jubah kemuliaan yang tak ada tandingannya di dunia. Kami bangga Syah, Kami berhutang budi kepada Mamah dan Bapakmu"

Aku semakin memeluk erat Umi dan Abiku. Kemudian dengan seketika ada kerinduan yang menyeruak di dadaku. Aku rasanya ingin tinggal bersama mereka saja.

"Syah..." Panggil seseorang lagi. Aku menengok. Bapak ??

Ku lihat lelaki paruh baya itu mengenakan jubah putih dengan zamrud hijau muda sebagai maniknya. Perutnya yang buncit dan senyum khasnya yang lebar menyambutku. Aku menghambur ke pelukannya.

"Kamu ternyata anak yang bisa di andalkan ya" Ucap beliau sambil mengacak-acak jilbabku lembut.

"Iya donk. Hehe. Ng.. Bapak, Abi, Ummi, Aisyah di sini saja boleh ? Aisyah capek , Aisyah pengen istirahat"Ucapku.

Mereka hanya tersenyum. Lalu menggamit lenganku dan membawaku menuju sebuah anak tangga putih dengan sulur anggur dan buah-buah yang warna warni lagi menyegarkan mengelilinginya. Aku mulai menaiki anak tangga satu, dua, tiga.. Seterusnya. Kami berempat menyenandungkan shalawat burdah. Hingga diujung sana aku melihat sebuah pintu yang amat besar dan bercahaya. Bapak, Abi, dan Umiku kemudian memasukinya. Aku pun mengekor, hendak melangkah. Namun, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seseorang yang tengah terengah-engah berlari. Tanganya melambai ke arahku.

"Aisyah.... Don't go" Teriaknya putus asa. Karena entah, semakin ia berlari ke arahku, maka jarak antara kita semakin jauh saja. Aku tak bisa mengenali orang itu. Yang pasti ia seorang pemuda dengan postur tegapnya itu. Dengan rasa penasaran, aku mengejar orang tadi. Aku tak peduli lagi dengan pintu besar yang indah itu __Ah, nanti bisa menyusul kan?__ pikirku.

Tapi, sejauh ini aku berlari aku tak bisa menemukan sosok itu. Ia seperti hilang tertelan cahaya putih yang amat menyilaukan dari ujung sana. Aku menyerah. Sepertinya aku lebih baik kembali menyusul keluargaku di pintu megah tadi. Aku pun kembali dengan langkah gontai. Lesu karena habis berlari. Namun sedikit terobati dengan warna-warni bunga krisan biru kesukaanku. Namun, tunggu. Bukan kah tangga ini tadinya penuh anggur ? Lalu kenapa sekarang penuh dengan krisan biru? Ah entahlah. Mungkin aku yang tidak memperhatikan krisan-krisan cantik ini. Nah betulkan. Pintu itu sudah ada di hadapanku. Aku dengan senyum lebar hendak melangkahkan kakiku kedalam. Namun sesorang menegurku. Seseorang yang selama ini aku impikan.

"Syah, jangan pergi. Banyak yang akan merindukanmu disini" Muhammad Adnan Asyfi, lelaki itu menatapku dengan binar yang lain. Binar yang menyiratkan kekhawatiran yang luar biasa.

"Aku hanya ingin bersama mereka, Gus. Aku sudah sangat merindukan mereka." Ucapku datar. Tak berani menatap matanya. Aku takut dibuatnya jatuh cinta lagi. Sekarang dia kan sudah sama Marwa, sahabatku sendiri. Jadi aku harus pandai menjaga pandanganku ini.

"Belum saatnya isy. Kamu kenapa bandelnya gak ilang-ilang sih. Ayo pulang. Genteng rumahku banyak yang bocor. Kita bisa masak bersama lagi nanti. Ayo, ku ajari cara memecahkan telur yang baik. Bukan dengan palu, tapi dengan sendok isy, atau pisau. Ayo yang penting kamu pulang" Gus Adnan terlihat amat memohon.

"Tidak gus. Aku tetap akan pergi. Lagipula, kamu tak seharusnya menyusulku kemari. Kamu harus menjaga marwa" aku menggigit bibir. Menahan cemburu.

"Ah, tidak usah membahas hal itu. Yang penting ayo pulang,sekarang !" Ucapnya tegas. Tanpa basa basi, ia menarik tanganku. Aku terseret. Anehnya, ia seperti memiliki kekuatan luar biasa yang mampu membawaku ke udara secepat kilat. Tapi, di tengah perjalanan, tiba-tiba pegangannya terlepas. Dia berteriak histeris melihatku yang jatuh meluncur ke bawah.

"Aisyaaah!!!"

******

Tit.. Tit... Tit...

Bunyi alat pendeteksi detak jantung itu adalah bunyi yang pertama kali ku dengar. Aku mengerjapkan mata pelan. Mimpikah aku tadi?tapi kenapa seperti terlihat nyata. Seperti benar-benar terasa.

Aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan. Penuh dengan alat-alat asing yang tak ku mengerti. Tapi otakku masih bekerja normal. Aku tau dengan pasti, ini adalah rumah sakit.

Dan, aku merasakan ada jemari hangat yang menggenggam jemariku erat. Aku mencoba melihat ke arah sosok itu, tapi tak bisa. Akupun mencoba untuk membangunkannya yang tertidur dengan kepala menyender di pinggir ranjang dan al quran tergenggam di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam erat tanganku. Tapi, tak bisa. Aku merasakan tubuhku begitu lemah. Aku seperti kehilangan seluruh energi dalam tubuhku.

Namun entah. Seperti ada sebuah keajaiban, tiba-tiba ia terbangun. Mendapatiku yang tengah mengamatinya, ia sedikit kaget. Aku juga tak kalah kagetnya. Kenapa dia bisa berada disini? Ku lirik jam. Pukul 01.00 . Semalam ini? Lalu dia dengan PDnya menggenggam tanganku? Apa-apa an ini!

"Aisyah kamu sudah bangun?" Tanyanya tak percaya. Aku enggan menjawab, sebagai gantinya aku memelototkan mataku padanya.

"Syah, ini kamu kan? Ini rohnya Aisyah kan yang ada didalam jasadnya? Halo..." Katanya sembari melambaikan tangannya didepan wajahku.

Aku masih tak merespon. Dia terlihat, semakin ketakutan.

"Kalau kamu Aisyah... Plis beri respon. Kalau kamu bukan Aisyah... Plis jangan ganggu aku...." Ucapnya sembari memasang wajah melas. Aku, tak kuasa untuk menahan tawa.

"Hahaha, Ini aku kok, gus"Ucapku akhirnya.

Yang ku ajak bicara menghela nafas lega.

"Akhirnya kamu sadar juga..."Ucapnya kemudian.

"Memang, aku tidur lama sekali?" tanyaku polos.

"2 bulan syah. Kamu koma"

"Waw... Selama itu ya, memangnya aku sakit apa?"Tanyaku mengetes. Aku sebenarnya sudah tau perihal penyakit yang ku derita. Aku mengetahuinya saat tak sengaja mendengar obrolan Mamah dengan dokter. Terlebih, setelah aku mengaitkan semua fakta yang terjadi, mimisan , rambut rontok, sering pingsan, wajah pucat, itu cukup membuatku mengerti bahwa penyakit ini tidak main-main. Ia serius mengajakku bercanda tentang kematian. Yang kadang membuat bulu kudukku berdiri sendiri ketika membayangkannya.

"Aku tidak tahu... " Gus Adnan berujar pelan. Huft, syukurlah jika Gus Adnan tidak tahu aku mendeita penyakit apa. Setidaknya aku akan merasa lebih tenang tanpa harus mengharap kepeduliannya.

"Aisy sekarang kamu istirahat aja ya... " Gus Adnan mengelus kepalaku yang tidak terbalut jilbab. Rambutku kian menipis, kurasa.

Tapi, aku menyadari sesuatu yang aneh.

"Aku sudah tidur dua bulan katamu. Aku tidak mau menghabiskan waktuku berlama-lama di alam mimpi. Aku pengen keluar gus, pengen menghirup udara segar."

"Segar dari mana. Ini jam satu dini hari. Angin malam tidak baik buat kesehatan"

"Yaudah aku mau istirahat, tapi sebelumnya aku punya satu pertanyaan untukmu."

"apa?"

"kenapa kamu ada disini?" kataku tercekat. Aku bisa merasakan ada yang meleeh dari sudut mataku.

Gus Adnan menghirup nafas dalam-dalam. Kemudian mata teduhnya menatap mataku. Tatapan khas hujan ini, yang amat aku rindukan. Aku menangis.

"Karena aku adalah suamimu dan aku wajib melindungimu"

LASKAR JM fi Ma'hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang