Rumah beratap joglo itu ramai oleh para pelayat. Bendera kuning nangkring di halaman dan gapura ujung gang. Langit gelap, pertanda sebentar lagi akan hujan. Beberapa kali, guntur mulai terdengar. Gemuruh. Sepertinya, badai akan bergelung.
Ini rumah duka dikampungku. R-U-M-A-H D-U-K-A.
Aku lebih memilih duduk mematung di teras samping rumah. Enggan menemui saudara-sadara yang datang melayat. Batinku sesak. Kenangan kenangan bersama Bapak bagai sebuah film di layar cinema, begitu jelas membayang.
Kenapa Ya Allah? Kenapa secepat ini? Baru kemarin Bapak mengantarku ke Pondok. Baru kemarin aku menemani Bapak membetulkan onderdil motor. Baru kemarin aku heboh nonton pertandingan bola bersama Bapak. Baru kemarin Bapak memelukku dengan hangat. Ya Allah... Kenapa harus secepat ini?
Aku tak mengerti dengan takdir ini. Disaat semuanya hampir terwujud, disaat aku akan mengikuti ujian akhir, Bapak pergi. Selamanya. S-E-L-A-M-A-N-Y-A.
Seseorang mengelus pundakku pelan. Aku kaget.
"Jangan menyesali takdir yang sudah terjadi"Suara itu merdu, __meski berat dan sedikit parau. Ini suara...Kak Fathur?
Aku menoleh tertahan. Bukan. Bukan Kak Fathur yang menyentuh pundakku (Padahal aku sempat berfikir untuk mendampratnya jika itu benar dia lakukan). Tapi gadis kecil mengenakan jilbab kuning. Manis. Manis sekali.
Tapi suara itu??
"Ini Anisah. Cantik ya?" Seseorang bertubuh jangkung tu muncul dari balik dinding. Kak Fathur mengenakan baju koko putih, sarung hijau, dan peci putih. Mempesona.
"Halo Kak Aisyah.. Assalamualaikum" Gadis kecil itu menyalamiku. Tanganku bergerak kaku ketika diciumnya.
"Kakak...Kata Kak Fathur kakak pintar bercerita ya?" Gadis itu sudah bergelayut manja dilenganku. Kak Fathur hanya berdiri mematung. Tersenyum menenangkan.
Belum sempat aku menanggapi celoteh Anisah, gadis kecil itu sudah nyerocos lagi.
"Anisah seneng banget dengerin cerita, apalagi cerita tentang kisah nabi. Dulu sewaktu bunda masih hidup, bunda selalu bercerita pada Anisah, tentang kisah nabi, tentang cerita malin kundang, tentang cerita ayah..."
Anisah tak melanjutkan kata-katanya. Ia mendadak menunduk, seperti menahan sesuatu yang menyakitkan.
"Anisah.. Kenapa?" Aku mencoba bertanya seajar mungkin. Padahal sulit sekali bagiku untuk saat ini berucap, walaupun sepatah kata. Mulutku serasa terbungkam.
"Ayah sudah meninggal sejak Anisah 3 tahun. Kata Bunda saat itu anisah lagi pinter-pinternya belajar bicara, lagi pinter-pinternya ngomong 'Ayaah'. Tapi kata bunda, Ayah itu orang baik. Orang baik disayang Allah. Jadi Anisah gak sedih lagi. Soalnya anisah yakin.. Kalau manusia sudah disayang allah berarti surga dekat dengannya. Ayah sama bunda pasti sedang menunggu Anisah di taman surga. Tapi.. Kata kak fathur, Anisah harus jadi anak yang baik dulu, jadi anak yang pinter, baru Anisah bisa nyusul ayah sama bunda di taman surga" Kata Anisah sembari menatapku lekat. Hatiku seakan tersentak. Jadi, Anisah yatim-piatu? Apa maksut kak Fathur mengajaknya kemari disaat seperti ini?
Mungkin karena ini. Karena keadaanku yang menyedihkan. Lihatlah. Aku yang tak mandi semenjak tiba disemarang kemarin. Lihatlah aku yang enggan makan sesuap nasipun. Lihatlah mataku yang sembab akibat menangis semalaman. Lihatlah, Aku yang tak bisa menerima kenyataan. Lihatlah aku yang marah pada takdir illahi. Lihatlah aku.. Aisyah yang menyedihkan.
Sejujurnya tak hanya rasa perih kehilangan Bapak yang menyayat-sayat hatiku. Tapi juga memikirkan nasib Mamah selanjutnya. Mau tinggal dimana Mamah? Bagaimana sekolahku? Apa Mamah akan mudah menerima kenyataan ini?
Ku perhatikan wajah Mamah yang memerah diantara para pelayat itu dengan ekor mataku. Ku lihat sesosok tubuh yang telah dikafani dihadapan Mamah. Tubuh tegap itu benar-benar membuatku tak percaya bahwa ia sudah tak bernyawa.
Ya Allah.. Bapak..
Lagi-lagi air mataku tak kuasa ku bendung. Hingga aku tak menyadari Kak Fathur dan Anisah didekatku.
"Aisyah..... "Seseorang merangkulku erat dari belakang. Siapa lagi ini.
"Marwa..."
Kudapati sosok yang dulu saat di pondok sangat mengertiku, mengajariku,sahabatku.. Kini ia ada disaat aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk meluapkan segala badai yang berkecamuk dihatiku.
Marwa.. Kau datang tepat waktu.
"Kenapa tidak masuk dan membacakan yasiin untuk Bapak,Aisy?" Marwa bertanya lembut. Jemarinya yang lembut mengusap air mataku.
Aku menggeleng lemah. Tidak berdaya.
"Apa kamu tidak ingin menatap wajah Bapakmu untuk terakhir kalinya, sebelum beliau ditimbun tanah? Ayolah Aisy.. Jangan cengeng seperti ini. Lihatlah.. Bapakmu menunggumu disana. Andakata ia melihatmu yang seperti sekarang ini, pasti beliau akan sedih. Pasti beliau tidak tenang meninggalkanmu dalam keadaan payah seperti ini" Marwa masih teguh membujuk.
Dan lagi-lagi aku menggeleng. Tidak, aku tidak sanggup menatap wajah Bapak yang penuh luka itu. Aku tak sanggup menatap matanya yang kini telah tertutup _untuk selama-lamanya.
Kak Fathur terlihat memberi isyarat pada Marwa. Sebentar lagi jenazah Bapak akan di makamkan. Marwa mengangguk singkat, kemudian menarikku setengah paksa.
Aku hendak memberontak, tapi entah. Aku kehilangan segala kekuatanku. Segalanya.
Marwa membawaku ditengah kerumunan pelayat. Aku bisa melhat dengan ekor mataku tubuh bapak yang mulai diangkat kedalam keranda__kendaraan beroda manusia. Kain hijau penutup keranda mulai dipasang. Rombongan pelayat ini mulai bergerak menyuri jalanan desa sembari menggemakan tahlil. Anak-anak kecil yang semula bermain dipelataran rumah mendadak berlarian kedalam rumah. Saling berebut mengintip dari jendela. Mungki mereka masih patuh dengan wejangan ibu mereka, jangan main diluar saat ada orang meninggal, karena bnayak malaikat yang mengantarkannya. Oh.. Semoga memang demikian. Semoga bapak termasuk orang yang diantar malaikat menuju kuburnya.
Aku mengekor dibelakang marwa. Didepannya ada kak Fathur yang menggandeng Anisah. Yang dengan wajah menggemaskan mengamati uang-uang receh yang sengaja dijatuhkan. Ini adat jawa. Uang milik orang yang meninggal akan ditaburkan begitu saja disepanjang jalan menuju pemakaman.
Tak harus berjalan lama. Pemakaman ada di 500 dari rumah duka. Dan inilah.. Inilah rumah terakhir bapak. Lubang galian tanah dengan ukuran sempit. Tiada keluarga, tiada cahaya, tiada teman. Hanya gelap, sendirian.
Empat orang yang menggotong keranda bapak mulai menurunkan keranda. Dua orang masuk kedalam lubang kubur. Dan hanya dalam hitungan menit, tubuh bapak sudah ada dibawah sana. Lagi-lagi air mataku menetes. Tak kuasa aku melihat semuanya.
"Siapa yang akan mengadzani? Adakah saudara laki-laki yang hendak mengadzani?" Pak Kyai yang mempin doa tadi dirumah duka bertanya. Pandangannya beredar mencari sanak kerabat Bapak. Hingga kemudian beliau berkata.
"Nah kamu nak, melihat wajahmu yang penuh kesholehan tetapi tertutup mendung kesedihan, ku percayakan kamu untuk mengadzani beliau. Monggo, silahkan nak."
Yang ditunjuk pak kyai segera bergerak. Turun ke liang lahat. Mendekatkan mulut ke telinga bapak.
"Allahuakbar Allahuakbar.." suarnya lantang dan merdu. Aku mengenalnya. Amat mengenalnya. Tapi hei, kenapa harus dia yang mengadzani Bapak? Mengapa harus Kak Fathur??
Aku merasakan pening yang teramat sangat. Tetapi pertanyaan itu terus berputar-putar. Memaksaku untuk menerka-nerka.
Kini tubuh bapak mulai ditimbun tanah. Tangis Mamah memecah kesunyian di pemakaman. Aku sendiri juga tsudah tak berdaya. Semua tampak samar dan berkunang-kunang. Hingga akhirnya aku benar-benar tak bisa menahan diri.
"Aisyaaah!!"
___
Assalamualaikum Readers..
Afwan ya.. Maaf banget telat posting. Ane bener-bener lagi banyak kerjaan . hehe. InsyaAllah deh seminggu ini bakalan nambah du
![](https://img.wattpad.com/cover/43297789-288-k370796.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LASKAR JM fi Ma'had
EspiritualAis si gadis tomboy penggila playstation harus kecewa berat.Bukannya di bawa holiday sebagai hadiah kelulusannya , ais malah di bawa ke pondok pesantren as salafi. Bersama Marwa dan Vani ,ais membentuk "Geng Jemuran" yang selalu bikin onar di...