1 | Lost

629 49 25
                                    

Petang telah menjemput kala ganasnya badai menghantam Bangkok. Rintikan air yang jatuh ke bumi mengaburkan pandangan tiap insan yang menghuni ibu kota Thailand tersebut. Beberapa orang tampak berlindung di bawah halte atau bagian depan kedai-kedai yang masih buka. Sisanya ada yang cukup berani menerjang derasnya hujan malam itu.

Guntur yang menggelegar berkolaborasi dengan hembusan angin dingin seolah mampu menggetarkan seseorang hingga ke jiwanya. Terutama mereka yang masih terpapar gigitan udara luar.

Hujan malam itu cukup merata sampai dapat membasahi seluruh tanah subur Bangkok, tanpa terkecuali. Mulai dari daerah yang dihuni oleh mereka yang kurang berkecukupan hingga mereka yang berada di jajaran tertinggi perekonomian Thailand, tanpa terlewati.

Seperti halnya sebuah mansion megah yang berdiri di daerah Silom, area elite ibu kota Thailand. Rumah bergaya klasik eropa tersebut tampak basah dan sepi. Hanya beberapa bodyguard berjas hitam yang terlihat berjaga di bagian depan mansion. Tembok yang terbuat dari kaca di lantai dasar masih memaparkan cahaya terang dari chandelier mewah yang menggantung indah di langit-langit ruang keluarga. Dari sana, suasana sepi terlihat. Seolah tak ada satupun manusia yang menghuni rumah bak istana tersebut.

Namun, jika dilihat lebih lekat binar cahaya lampu dapat terlihat dari sebuah jendela balkon besar di lantai tiga. Tirai yang masih terbuka, mengizinkan kita untuk melihat tiga sosok yang ada disana. Seorang pria tinggi tengah menyandarkan tubuh di jendela, menatap ke wanita cantik bergaun peach dan anak lelaki berusia empat tahun yang sedang berbaring pada tempat tidur hangatnya.

Sebuah buku bersampul emas berada di pangkuan si wanita. Senyuman tak lepas dari paras indahnya. Membuat sang suami di belakang sana terpana hingga tak dapat berpaling. Sesekali si tinggi dengan rambut hitam mengkilat yang tertata rapi itu tersenyum namun tetap tinggal di tempatnya berdiri. Memilih untuk mendengarkan serta mengamati dari jauh.

"Siren adalah makhluk legendaris. Orang Yunani percaya, mereka hidup di lautan. Awalnya Siren digambarkan sebagai seekor burung berkepala besar dan kaki bersisik. Namun semakin lama, Siren sering dikaitkan dengan seorang wanita cantik bertubuh manusia namun memiliki sirip ekor seperti ikan."

"Mermaid? Apakah mereka sama, Mom?" ujar anak lelaki itu memotong cerita yang sedang dibacakan oleh si wanita yang ia panggil mommy.

"Hmm," wanita itu kemudian mengangguk, dan melanjutkan ceritanya. "Namun, Siren berbeda. Mereka gemar membunuh manusia, entah untuk alasan apa. Suara mereka amat merdu hingga manusia akan terpikat sebelum akhirnya ditarik masuk ke dalam lautan yang gelap."

Petir kembali menggelegar di luar sana, reflek si kecil melompat pelan lalu segera bersembunyi di balik bedcover bermotif minion yang menghiasi tempat tidur mahal itu.

"Mom, apakah Siren semuanya wanita? Kenapa mereka jahat sekali?" rengeknya.

Wanita cantik itu terkikik pelan mendengar pertanyaan polos sang putra tunggal. Jemari panjang berhias kutek merah itu kemudian bergerak untuk membalik pada halaman selanjutnya.

"Mereka bilang beberapa kali ditemukan Siren berwujud laki-laki. Namun wajahnya tetap sangat cantik dan mengagumkan. Meskipun mereka hobi membunuh manusia, jika sekali saja makhluk itu memberikan hatinya pada satu orang, maka selamanya Siren akan mencintai orang itu."

"Jadi, Siren bisa jatuh cinta pada manusia Mom?"

Kepala bersurai blonde itu mengangguk sebelum mengusak surai buah hatinya dengan sayang. Membuat si anak tersenyum lebar dan merangsek untuk mendekat pada si Ibu.

"Ya, sekali untuk selamanya."

"Seperti Mommy dan Daddy?" cetus si kecil. Matanya berkedip polos, mengakibatkan pria tampan dengan telinga seperti peri di belakang sana berjalan menghampiri dan merangkul pundak si wanita.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang