Ketika Zee membuka mata, bias cahaya mentari sudah menelusup melalui jendela. Pria tampan itu mengerjap beberapa kali sebelum mengangkat kepalanya. Tak lupa memberikan kecupan sayang di punggung tangan sang kekasih.
Dentuman kepalanya masih jelas terasa. Seolah tidur semalam tak memberikan efek apa pun pada dirinya. Zee berusaha untuk memijat pelipis seperti yang biasa dilakukannya. Namun, cara itu pun tak berhasil dan justru membuat sakit kepalanya semakin menjadi.
"Selamat pagi Baby, sudah ingin membuka mata?" bisik Zee. Kedua matanya tampak sayu dan sarat akan lelah yang menggelayuti.
Pria itu kembali menghela nafas, sembari memejam mata. Sebuah gestur yang ia lakukan untuk menarik diri dari alam fana yang indah. Zee tahu dan tentu menginginkan Nunewnya segera kembali.
Namun, tidak. Tidak hari ini, ia bisa merasakannya.
Satu kecupan sayang ia bubuhkan pada kening sang kekasih untuk terakhir kali, sebelum memutuskan untuk beranjak berdiri menuju kamar mandi. Sekilas kedua manik hitam kelam tersebut melirik pada jam digital di dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi, kemudian berjalan menyeret memasuki kamar mandi.
Satu jam lagi dokter Ling akan segera tiba, ia tahu karena wanita itu tidak pernah terlambat, dan hal tersebut berarti jadwal Zee untuk mengambil darah. Sesungguhnya, dokter Ling dan dokter Orm sedikit menolak ide Zee untuk melakukan pengambilan darah setiap hari alih-alih dua hari sekali. Karena tentu hal itu dapat membahayakan nyawa pria sehat sepertinya, juga bertentangan dengan sumpah mereka sebagai seorang dokter.
Namun tiada pilihan lain, Zee terlalu keras kepala. Pria itu mengusulkan semakin cepat donor dilakukan, maka Nunew juga akan semakin cepat pulih, meskipun berarti membahayakan nyawanya sendiri.
Sekitar sepuluh menit kemudian, tepat ketika sang chairman melangkah keluar dari kamar mandi, pintu ruang rawat Nunew terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya dengan jas dokter yang familiar. Rambutnya tergelung rapi seperti biasa dan tersenyum sopan pada sang chairman.
"Selamat pagi, Tuan Zeevan."
Anggukan sekilas Zee berikan sebelum pria itu mengekori sang dokter yang sudah mulai memberikan instruksi pada lima perawat di sekelilingnya.
Zee hanya terdiam, menyaksikan tiap gerak-gerik para petugas medis yang tengah sibuk mengecek peralatan yang tersambung dengan tubuh Nunew. Mata tajam bak elang itu tak sedikit pun melepaskan sang dokter yang kini mulai mengeluarkan alatnya dan memeriksa keadaan sang kekasih. Seperti suhu tubuh, tekanan darah dan beberapa hal krusial lain.
Sampai beberapa menit kemudian sang Chairman memutuskan untuk melangkah maju, merasa bahwa dokter Ling sudah selesai dengan tugasnya dan siap mengucapkan satu hal yang beberapa hari terakhir menjadi pembuka komunikasinya dengan sang dokter.
"Dokter, bagaimana?"
Wanita itu mendongak, kemudian tersenyum dibarengi sebuah anggukan kepala kecil.
"Suhu tubuhnya masih tidak stabil, Tuan Zeevan."
Dokter Ling melirik ke arah seorang perawat yang baru saja memasukkan kasa steril putih ke dalam mulut Nunew. Helaan nafas lelah tak dapat dihindari oleh sang dokter, ketika benda putih bersih yang terbalut pada jari telunjuk sang perawat, kini berubah menjadi warna merah. Sebuah pertanda bahwa pendarahan memang masih terjadi.
"Dan racun itu masih melekat seperti parasit."
Zee memejamkan mata sembari memijat kening yang berdenyut. Ia menggeleng, berusaha mengembalikan kekuatannya sebelum menatap sang dokter.
"Kapan pengambilan darahku dilakukan?"
Alih-alih memberikan jawaban yang sesuai dengan keinginan sang Chairman, dokter Ling perlahan mendekat dan tersenyum simpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOLUST
FantasyTidak peduli seberapa dalam rasa cinta mereka, jika semesta memutuskan bahwa kebersamaan adalah mimpi yang mustahil, maka selamanya mereka akan terpisah oleh deburan ombak terakhir yang menyapu pesisir. Payau air laut dan kilauan pasir menjadi batas...