19 | The Elixir

297 54 59
                                    


Phuket, 2024

Suara kecipak air tengah berkolaborasi dengan deburan ombak yang cukup menderu kencang malam itu. Bintang-bintang tak bersinar malam ini, membuat sang bulan bersembunyi dengan rasa sepi di balik gumpalan awan gelap. Air laut yang sudah pasang tampak menghempas batu karang yang sebelumnya kering tak tersentuh.

Sunyi.

Hanya ada suara deburan ombak, tiada nyanyian dari para hewan malam. Hembusan angin pun tak seperti biasa. Seolah mengerti, bahwa seorang pria tengah bersimpuh di tengah lautan yang airnya kini menyentuh batas dada. Meratapi titik terakhir dimana sang kekasih pergi dengan raut kecewa yang sudah ia janjikan tak kan lagi berada di sana.

Rasa kecewa tak kepalang ia arahkan pada dirinya. Menyesal bagaimana ia tak kembali memikirkan segala resiko atas tindakannya. Memikirkan perasaan Nunew. Seharusnya ia tahu, Mean adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup Nunew.

Kata-kata 'seharusnya' terus saja berputar-putar di kepala Zee. Memikirkan segala hal yang alangkah baiknya ia lalukan sebelum semua ini terjadi. Namun semua sudah terlambat. Ia tidak mempunyai teman yang bisa memutar waktu seperti Nunew.

Dan Zee pun tahu, meskipun waktu diputar, ia tak dapat menghapus sebuah luka yang sudah terlanjur tertoreh dalam di hati. Sehingga kini sungguh ia tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Dalam hati iya mengumpati takdir yang menuliskan kisah mereka sehingga terlahir di kedua dunia yang berbeda. Zee tak pernah merasa amat tak berguna seperti saat ini. Ia menertawakan rasa bangga dan ego yang pernah membuncah di dalam dada karena setiap orang di penjuru negara ini, atau bahkan di luar negara, mengelu-elukan namanya. Memujanya bak seorang dewa. Tapi kenyataannya, ia bahkan tak becus untuk sekedar mencari sang kekasih dan mengucap kata maaf.

Semakin pemikiran itu merasukinya, semakin dalam kepalanya tertunduk. Jemari kokohnya meremat erat pasir basah di bawah sana, meluapkan semua rasa frustasi serta kesal dan menahan air mata di saat bersamaan.

Tepukan di pundak serta kalimat penenang yang terlontar dari mulut Mean pun tak memiliki efek apapun bagi Zee. Ia seolah tuli dan buta karena sejak tadi wajah kecewa serta suara bergetar Nunew terus terngiang di kepala.

"Zee.."

Suara lembut itu membuat pria yang berdiri kaku di belakang Zee perlahan menoleh. Sontak, Mean membungkukkan badan sebagai sapaan hormat pada wanita paruh baya cantik yang ia kenali sebagai ibu dari sang chairman.

Senyuman hangat mengembang di wajahnya yang tak lagi muda sebagai balasan untuk Mean. Sebelum kedua kaki tak beralas itu melangkah masuk ke dalam lautan. Membiarkan Sheath Dress merah di bawah lutut tersebut basah.

Tepukan di pundak ia hadiahkan pada Mean, diikuti kedua lututnya menekuk dan memeluk putra kesayangannya dari belakang. Dagu si wanita ia biarkan bersandar pada surai gelap yang tertata rapi itu.

Dan tak lama kemudian, tangisan pilu sarat akan kekecewaan terdengar.

"Ibu mengerti nak. Ibu mengerti," bisiknya.

Tangan yang sudah mulai mengeriput itu tak berhenti mengusap-usap pundak sang chairman yang bergetar hebat. Lihat bagaimana kecilnya ia kini. Di luar sana, memang Zee dapat membusungkan dada dan mendongakkan dagu setinggi mungkin. Namun, di pelukan sang ibu? Selamanya ia adalah putra kecil kesayangan si wanita paruh baya.

"Ibu bisa melihat bagaimana mata biru itu bersinar amat indah, mengalahkan ekor birunya yang juga bersinar. Sisik-sisik biru kecil yang tersebar di sekitar tubuhnya mengingatkan ibu, pada sosok yang dulu pernah sangat ibu cintai."

Zee perlahan menoleh. Menatap penasaran pada sang ibu. Tak satu kata pun terucap, namun si wanita tahu bahwa anak laki-lakinya tengah menunggu sebuah penjelasan. Sesuatu yang seharusnya ia katakan sejak pertama melihat sosok indah si Biru meliuk-liuk di dalam akuarium di villa milik sang putra.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang