Malam telah menjemput ketika sebuah ekor bersisik oranye membelah sunyinya bangunan utama istana Vriryn. Rasa khawatir membelenggu dan membuat kedua mata tersebut tak dapat terpejam ketika ia menyadari sosok biru bersinar yang amat ia kenal tidak terlihat dimana-mana.
Kala surya menjemput adalah terakhir kali Plan bertatap muka dengan putra mahkota Vriryn tersebut. Si Biru mengatakan dirinya akan bermain-main sedikit di permukaan, namun hingga kini tak ada tanda-tanda ia akan kembali.
Pemikiran buruk merasuki Plan.
Apakah mungkin manusia itu menculik Nunew dan menjualnya?
Meskipun Plan tergolong siren kuno yang tidak setuju bahwa dunia manusia dengan dunia mereka dapat bersatu, namun ia tahu banyak mengenai bagaimana dunia di atas sana.
Sedikit demi sedikit, si ekor oranye akan mencari tahu. Entah itu melalui buku atau apapun yang bisa ia temukan. Semua itu terjadi sejak 'dia' pergi, mencari mimpinya di atas sana. Katakan Plan naif, namun mengetahui seperti apa di atas sana membuat si oranye merasa dekat dengannya.
Menyakitkan memang, 10 tahun sudah berlalu. Namun, hingga detik ini belum bisa ia mengenyahkan perasaan rindu yang menelannya bulat-bulat. Rasa khawatir masih menghiasi mimpinya tiap malam.
Apakah ia baik-baik saja?
Apakah ia dapat berbaur dengan baik?
Apakah makanan di atas sana dapat ia nikmati?
Apakah malam ini ia bisa tertidur lelap?
Apakah, ia masih mencintaiku?
Setiap malam pertanyaan itu akan menghantui Plan, menahannya untuk terlelap dan mengarungi malam panjang dengan lelehan air mata. Rasa sakit masih saja menekan dada, hingga terbawa ke alam bawah sadarnya dalam sebentuk mimpi buruk. Terbangun dengan ratusan butir mutiara hitam di sekitarnya bukan hal baru bagi Plan. Mengagumkan bagaimana ia masih terus teringat akan perasaan sakit itu bahkan ketika dirinya berada di alam mimpi. Hingga pemikiran itu akan membuat si oranye terkekeh. Kekehan yang menyakitkan.
Kala bulan mulai duduk di atas singgasana, kala kesunyian mulai menghampiri. Plan akan terdiam di atas batu tempatnya berbaring. Matanya menatap nyalang tanpa jelas kemana. Pikirannya akan melayang-layang. Berusaha mencari jalan keluar atas permasalahan pelik yang masih membelitnya bahkan ketika 10 tahun sudah berlalu. Namun, alih-alih jawaban, ia justru dihadapkan pada pertanyaan baru. Teka-teki baru yang akan muncul ke permukaan akibat rasa peduli, rasa khawatir, dan rasa cintanya pada putra sang penguasa laut.
Orang-orang di sekitarnya pun tak banyak membantu.
Seperti Queen Vespera yang masih menangis sendirian di ruangannya sembari mengingat sang putra yang kini entah dimana. Atau Newyn yang akan berjam-jam menatap ke singgasana saat King Kaelith tak disana, membayangkan jika sang kakak masih disana untuk membebaskan si Biru dari semua beban yang seharusnya tidak ia tanggung. Dan ketika King Kaelith menatap dalam sebuah mahkota yang selalu berusaha ia musnahkan, namun akan gagal setiap saat karena Plan tahu, di lubuk hati sang penguasa lautan, rasa sayang dan rindu akan kehadiran putra sulungnya itu masih ada.
10 tahun berlalu.
Plan kira, hanya dirinya yang belum dapat melepaskan Mervinowyn. Namun tidak!
Mereka semua juga ikut menderita bersama Plan. Masih belum sanggup menghapus kenangan menyakitkan itu bahkan ketika sepuluh tahun telah terlewati.
Hanya mereka memilih.
Memilih untuk tidak membicarakannya.
Karena membicarakan Mervinowyn, berarti membuka sebuah luka yang sebenarnya masih menganga dengan darah yang mengucur deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOLUST
FantasyTidak peduli seberapa dalam rasa cinta mereka, jika semesta memutuskan bahwa kebersamaan adalah mimpi yang mustahil, maka selamanya mereka akan terpisah oleh deburan ombak terakhir yang menyapu pesisir. Payau air laut dan kilauan pasir menjadi batas...