11 | Broken

333 52 40
                                    

Matahari sudah berada di puncak singgasana saat seorang pria tampan tengah terbaring di pasir putih pantai. Beberapa meter dari batas akhir dimana ombak menyentuh daratan.

Kemeja biru muda dengan kancing berbahan campuran emas putih karya Salvatore Ferragamo membingkai tubuh berototnya. Dipadukan dengan celana putih yang digulung hingga betis, membuat Zee terlihat tampan dan santai di saat bersamaan.

Kedua kelopak matanya terpejam, membiarkan angin dengan bebas membelai wajahnya. Sengatan matahari yang cukup ganas tak ia pedulikan, terlihat dari bagaimana sang chairman tampak nyaman berbaring selama dua jam terakhir.

Dua bulan berlalu bagaikan kedipan mata. Dua bulan yang sepi.

Sejak malam itu, sama sekali Zee tak melihat si Biru, pun merasakan kehadirannya. Semuanya seperti kembali ke keadaan semula, saat dimana Nunew belum masuk dalam kehidupan Zee. Ia kira, semuanya akan mudah.

Ya, seperti itulah anggapan Zee setelah seminggu tak bertemu Nunew. Bahwa ia akan bisa melewati ini dengan mudah. Dan melupakan Nunew bukanlah perkara sulit. Seminggu dibandingkan seumur hidup, tentu Zee akan terbiasa.

Setidaknya, itu adalah anggapan sang akal sehat. Yang terus meracuni pikiran-pikiran Zee, melawan teriakan hati kecil yang kini meraung karena rindu.

Setiap malam, tak terlewat seharipun tanpa ia duduk menghabiskan waktu di tempat pertemuan keduanya. Sendirian menghabiskan malam dengan melamun, atau mencoba mengingat tiap detail sosok indah itu.

Tak jarang ia tertidur hingga pagi menjemput, dengan rasa sakit luar biasa pada punggung dan belakang kepalanya. Namun, tentu hal itu tak cukup membuat si tinggi jera hingga terus melakukannya tiap malam. Meskipun dalam lubuk hati terdalam ia tahu, Nunew tak akan datang.

Sebulan setelah kejadian itu, Zee berpikir untuk kembali ke Bangkok. Melanjutkan hidup dan meninggalkan semua perasaan itu bersama pulau ini. Namun tidak, sesuatu menahannya. Menarik kakinya kembali tiap ia akan melangkah pergi.

Memerangkapnya dalam sebuah kerinduan luar biasa akan si Biru. Hingga Zee tak memiliki pilihan selain tinggal, dan menunggu sesuatu. Sebuah ketidakpastian. Namun, di sanalah Zee menggantungkan seluruh harapannya, rasa rindunya, rasa cintanya. Pada sebuah ketidakpastian.

Siang dan malam Zee habiskan untuk diam. Sesekali ia akan bermain dengan Charan. Tetapi selain itu, jika bukan ruang kerja maka pantai adalah tempat pilihan sang Chairman. Membunuh waktu dalam keheningan, ditemani oleh dirinya dan alam sekitar.

Seperti hari lain, hari itu pun tak jauh berbeda. Zee beranjak dari ruang makan setelah sarapan usai. Memperingkatkan bahwa tiada siapapun yang boleh mengganggunya. Bahkan Charan sekalipun.

Semua alat komunikasinya tergeletak begitu saja di kamar, tak tersentuh. Mengabaikan ratusan pesan dan telpon penting bahkan dari perusahaan. Zee tidak pernah melakukan itu sebelumnya, dan fakta ini cukup membuat semua orang tercengang.

Joong sering kali bertanya-tanya. Sang Chairman tampak baik-baik saja beberapa saat lalu setelah kematian sang nyonya besar. Ia terlihat bahagia, seolah sudah melupakan semua tentang Kimberly dan siap melanjutkan hidup.

Tetapi aneh, beberapa saat kemudian Zee kembali murung. Terdiam dan tak banyak bicara. Menolak bertemu siapapun dari luar, kecuali Mean Phiravich. Yang dalam seminggu akan dua kali berkunjung. Menghabiskan waktu berdua dengan sang Chairman di ruang kerja sebelum pergi. Entah apa yang mereka bicarakan.

Namun, Joong yakin alasan sang chairman bukanlah Profesor Harvard yang terkenal itu. Melainkan sosok lain yang bahkan tak ia ketahui siapa.

Hal lain yang menarik perhatiannya adalah bagaimana sang chairman tampak tertarik dengan laut lebih dari yang pernah ia bayangkan. Tak jarang Joong memergoki pria tampan itu kembali dari pantai saat matahari terbit dengan penampilan yang cukup kacau.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang