Terik matahari pagi menyengat siapa pun insan yang tengah berkumpul di sepanjang pagar pembatas kapal Nylcaston. Segerombolan orang berpakaian serba hitam kini tengah berjejer, beberapa tampak menebarkan bunga, beberapa tampak terisak dan sisa lainnya terdiam. Entah apa yang tengah berkecamuk di benak mereka. Namun, mungkin saja, itu adalah kenangan akan sesosok wanita cantik, cerdas, dan terpandang yang baru saja pergi untuk selamanya dengan cara cukup tragis, yakni tercebur dalam kegelapan Samudra Pasifik.
Berbagai cara untuk menemukan jasad wanita tersebut sudah dilakukan, mulai dari kapal canggih hingga penyelam handal, namun nihil. Lagi-lagi kekecewaan menjadi hasil atas usaha keras mereka.
Seminggu sudah berlalu bak kedipan mata, segunung rasa optimis itu sudah musnah kini. Tergantikan dengan perasaan duka yang entah hingga kapan akan menyelimuti. Mereka yang terdekat hanya bergantung pada kenangan indah untuk tetap bertahan, mencoba lepas dari gelayut rasa tak rela.
Salah satunya adalah seorang pria tampan yang kini tengah berdiri tepat di titik terakhir sang istri terlihat malam itu. Satu tangan beristirahat dalam saku celana, membiarkan jemari itu terkepal menahan tetesan air mata yang sebentar lagi akan mengalir, saat mengingat kenangan buruk akan hari yang selamanya ia sesali. Di samping sang pria, seorang anak kecil yang merupakan versi mini darinya juga tengah melamun memperhatikan deburan ombak. Satu lengannya memeluk kaki sang ayah, sedang satunya sesekali bergerak untuk menyeka lelehan air mata.
Sebersit rasa bersalah menampar Zee, pimpinan Zetcore Inc itu teringat bagaimana ia mengabaikan Charan selama lebih dari seminggu. Menjawab pertanyaan anak itu sekedarnya, bahkan tidak berada disana ketika si kecil menangis sesenggukan di pelukan Jessica, si pengasuh.
Perlahan Zee menunduk menatap si kecil yang kini masih terisak, tangan lebar itu dengan bebas mengusak surai blonde si kecil. Berusaha menenangkan putra semata wayangnya.
Benar, seharusnya ia tegar karena itu sudah merupakan kewajiban si tinggi sebagai ayah. Kini ia seorang diri dan menjadi satu-satunya pegangan Charan. Jika ia terpuruk, terus-terusan mengabaikan si kecil dan hanya mengasihani dirinya sendiri, pada siapa Charan akan berpegangan?
Dengan pemikiran itu, Zee akhirnya tersenyum. Berusaha mengabaikan perasaan sedih yang tengah ia rasakan. Ingin menunjukkan pada Charan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Hey, jagoan kecil. Mommy akan sedih jika melihatmu terus menangis seperti ini," ujar sang pria. Senyuman terkembang di paras tampannya.
Kerucutan di bibir mengiringi kepala Charan yang tengah mendongak. Menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca. Kekehan lolos dari bibir tipis Zee, kedua tangan kekar itu mengangkat tubuh mungil Charan ke dalam gendongannya dengan mudah. Kecupan sayang ia bubuhkan pada pipi bulat itu, berusaha menjadikannya isyarat bahwa betapa besar cinta yang ia miliki untuk si kecil.
"Dengarkan Daddy, selamanya Mommy akan ada di sekitar kita. Karena itu, berjanjilah Charan jangan bersedih. Daddy akan selalu ada disini untuk Charan."
Jemari kecil itu perlahan mengusap kering air mata yang membasahi pipi gembulnya, dibarengi bibir mungil yang bergetar menahan isakan. Anggukan Charan berikan sebagai jawaban, sembari kepalanya bersandar manja pada pundak sang ayah. Membuat si kecil dihadiahi sebuah ciuman sayang oleh Zee.
"Daddy, tidak akan pergi juga kan? Ran tidak mau sendirian," lirih Charan. Menjadi kalimat pertama yang terucap sejak ia membuka mata tadi pagi.
"Tentu, Daddy akan selalu bersama Charan."
•
•
"Apa! Kau berciuman dengan manusia?! Kau gil—mmphh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOLUST
FantasyTidak peduli seberapa dalam rasa cinta mereka, jika semesta memutuskan bahwa kebersamaan adalah mimpi yang mustahil, maka selamanya mereka akan terpisah oleh deburan ombak terakhir yang menyapu pesisir. Payau air laut dan kilauan pasir menjadi batas...