38 | Abyssal Change

339 46 46
                                    

Phuket 

Bias oranye cahaya matahari sore sudah menyambangi bumi. Deburan ombak yang semakin tinggi memberikan sinyal pada setiap makhluk yang ada di sana, bahwa malam akan segera menjemput. Para pengunjung pantai mulai berbondong-bondong untuk keluar dari dalam air dan bertolak ke rumah masing-masing. 

Para nelayan tampak membereskan perlengkapan mereka sembari berbagi cerita-cerita ringan mengenai keluarga atau bahkan topik-topik umum seperti resep masakan terbaru. Hasil tangkapan mereka tampak sudah rapi berjejer di sepanjang bibir pantai, siap diangkut ke tempat selanjutnya.

Singkatnya semua orang di sana sudah mulai menutup hari, bersamaan dengan sang mentari untuk kembali ke peraduan. Gelombang air yang diperkirakan pasang lebih tinggi dari biasanya, bahkan membuat mereka terburu-buru untuk segera meninggalkan area pantai. 

Namun, tidak dengan kedua pria berjas yang kini berdiri gagah di atas sebuah kapal kecil yang mengambang di batas cakrawala. Manik keduanya tampak kosong, menatap pada ketidakpastian. Semilir angin sore mengibarkan tatanan rambut rapi keduanya. 

Pria yang lebih tua tampak sesekali menyisir rambut yang sudah mulai memutih dengan jari-jarinya. Sedang yang lebih muda? Sesuatu yang lebih besar kini tengah menanti, hingga ia sedikit pun tidak peduli jika angin menerbangkan seluruh rambut hitamnya.

"Masih ada waktu untuk kembali ke daratan, nak." Kekehan pelan lolos dari bibir yang lebih tua dibarengi sebuah tepukan pada pundak putra kebanggaannya.

Dengusan adalah jawaban sang putra. Pria itu kemudian menggeleng sembari perlahan melepaskan dasi 450 dollar karya Ralph Lauren yang sejak tadi menggantung di lehernya, kemudian dengan asal melemparkannya ke dek kapal.

"Aku tidak akan pernah siap jika terus menunda, ayah."

Dan jawaban itu cukup bagi sang ayah untuk ikut berjalan maju dan melepaskan sepatu serta jas mahal Tom Ford miliknya. Kekehan kembali muncul sebelum pria paruh baya itu mengacak surai putranya yang sudah tidak lagi kecil tersebut.

"Kapan pun kau siap, ayah akan menunggu di bawah."

Kalimat terakhir yang sang ayah ucapkan sebelum pria tersebut menceburkan diri menghilang di balik permukaan air, membuat degupan jantung si tinggi semakin tak beraturan. Pria tampan itu tidak mengira dirinya akan meragu, berbeda dengan hari itu ketika ia akan menyelamatkan sang kekasih. Namun, ia sudah berada di sini di barisan terdepan dan sudah terlambat untuk kembali.

'Benar, aku tidak akan siap jika tidak pernah memulai'

Dengan satu tegukan, Zee menghabiskan cairan merah di botol kaca yang kini berada di genggaman. Keningnya mengernyit, merasakan rasa anyir dan pahit yang pernah ia rasakan itu.

'Satu, dua, tiga, empat, lima..' bisik Zee dalam hati.

Anggukan terakhir ia berikan, sebagai jawaban dan dorongan kepada dirinya sendiri. Perlahan namun pasti, kedua kaki panjang itu melangkah ke bagian akhir kapal. Kedua matanya memejam dan satu tarikan nafas panjang ia ambil.

Byur!

Tubuh tinggi itu hilang di balik deburan ombak pasang Samudra Pasifik. Ketika ia membuka mata, Zee mengira ia akan berhadapan dengan kegelapan serta keheningan sejauh mata memandang, seperti yang terakhir kali diingatnya.

Tetapi ia salah.

Alih-alih sang ayah yang tengah menanti di tengah kegelapan, Zee melihat setidaknya 10 siren yang kini tengah mengelilingi sang Chairman. Drakeson Panich menjadi salah satunya yang kini tengah mengambang berdampingan dengan satu siren lain berekor merah yang Zee tebak adalah pamannya, Raja Kerajaan Atlantik.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang