Phuket, 1998
Terik matahari menyengat pada suatu musim panas di pertengahan bulan September. Hiruk pikuk pasar Lard Yai menjadi saksi bisu bagaimana menyenangkannya musim panas tahun ini. Puluhan orang tampak bersantai di sekitar pasar. Beberapa tampak menjajakan dagangan mereka, beberapa mengangkut ikan segar dari dalam truk, dan sisanya menikmati area tersebut untuk berbelanja serta mengisi perut.
Ratusan warna bercampur menjadi satu, melebur dalam sebuah harmoni yang indah. Tidak ada yang mencolok dan tidak ada yang terhalangi. Bersama-sama mereka menjalani kegiatan seperti biasa, seolah itu adalah kebiasaan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Seluruh pergerakan mereka tak canggung, cepat bak kilasan memori di dalam kepala.
Semua memiliki peran dan tujuan masing-masing di tempat tersebut.
Semua, kecuali satu orang.
Seorang pria tampan, bersurai biru gelap yang jika dilihat dari kejauhan tampak seperti hitam. Mata yang senada dengan tiap helaian rambutnya seperti kosong. Menatap tiap sudut pasar, memperhatikan pergerakan di sekitarnya dengan heran dan tegas di saat bersamaan. Posturnya yang tinggi, tubuh tegap berotot dan paras tampan membuat semua mata otomatis menoleh untuk mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu indah. Mengabaikan fakta bahwa pria tersebut tampak asing.
Asing, bukan karena ia memiliki perbedaan fisik.
Melainkan ketidakfamiliaran yang disebabkan oleh perilakunya yang amat canggung bahkan saat ia tengah berdiri di tengah kerumunan tanpa melakukan apapun.
Seluruh tubuhnya tak bergerak, hanya kedua bola mata dan pundak naik turun yang menunjukkan bahwa ia seorang makhluk hidup.
Ia mengabaikan semua tatapan, dan bahkan sapaan yang terang-terangan terlontar untuknya. Jika bukan karena sosoknya yang menawan, tentu orang sudah menganggap pria itu gila karena manusia waras mana yang akan berdiri di tengah kerumunan pasar tanpa melakukan apapun?
Tentu saja.
Mereka tidak tahu, bahwa pria itu memang bukan manusia.
Alasan logis kenapa ia tak berperilaku layaknya manusia beradab. Membalas sapaan adalah hal dasar dalam pergaulan jika kau ingin diterima oleh masyarakat, tetapi sang pria bahkan mengabaikan hal tersebut. Ya, yang lain hanya mengira pria tersebut sombong dan berlalu sembari menahan malu yang meletup-letup.
Alasan lain adalah ia tak melihat keuntungan apapun dengan membalas sapaan mereka.
Mereka adalah manusia, mangsa dari kaum sang pria.
Kaum yang ia pimpin.
Benar, tepat pada bagian tengah pasar Lard Yai, diapit empat penjual ikan segar dan oktopus, berdiri King Kaelith atau di bawah sana mereka menyebutnya Dewa Lautan.
Ucapan tersebar dari mulut 'dia yang melihat langsung' ke mulut 'mereka yang mendengar' sejak ratusan tahun lalu kemudian berubah menjadi legenda yang menyebutkan bahwa sesekali, Raja Lautan akan berkunjung ke dunia manusia untuk belajar dan mengetahui seperti apa kelangsungan hidup di atas permukaan samudra. Tentu, hal ini bukan tanpa maksud. Mengetahui dunia manusia berarti mengetahui seperti apa alat-alat yang mereka gunakan untuk 'merusak' laut beserta penghuninya.
Namun, zaman telah berganti. Diawali dari dia yang melihat langsung hingga ke ribuan orang setelahnya, manusia berevolusi, mereka tak lagi mempercayai ucapan dari si 'orang pertama', menganggapnya sebagai tahayul dan legenda tanpa dasar. Hingga tak heran, mengapa kini tak ada satupun kepala dari ratusan disana yang menebak bahwa pria rupawan nan aneh tersebut bukanlah manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOLUST
FantasyTidak peduli seberapa dalam rasa cinta mereka, jika semesta memutuskan bahwa kebersamaan adalah mimpi yang mustahil, maka selamanya mereka akan terpisah oleh deburan ombak terakhir yang menyapu pesisir. Payau air laut dan kilauan pasir menjadi batas...