Derik suara jangkrik terdengar menggema, menjadi pengiring musik di malam yang sepi. Hembusan angin terasa amat dingin, seolah mampu membekukan siapa saja yang dengan berani menginjakkan kaki keluar rumah. Binar-binar lampu terlihat sejauh mata memandang, menghiasi barisan rumah yang berdiri di tanah kumuh bagian terdalam ibu kota Thailand.
Tidak ada yang menonjol sungguh. Hanya puluhan rumah dengan cat memudar dan atap yang beberapa mulai reyot. Bau tak sedap menguar pekat dari pembuangan sampah beberapa meter dari sana tiap kali angin berhembus. Namun, sepertinya kenyataan itu sudah biasa diterima oleh mereka yang menghabiskan hidup di tempat itu. Tempat yang mereka sebut sebagai rumah.
Suara lolongan serigala terdengar di kejauhan, bersahutan dengan denting mainan yang dipasang di depan pintu beberapa warga saat diterpa angin. Di tengah kota Bangkok, suasana amat gemerlap dengan lampu dan jutaan kemewahan. Berbanding terbalik dengan suasana mencekam di kampung berjalan sempit ini.
Sejauh mata memandang, tidak terlihat adanya aktivitas. Wajar, sebagian dari mereka yang tingga di sana berasal dari bagian bawah hirarki sosial. Sehingga pekerjaan yang dihadapi setiap paginya sudah cukup melelahkan, hingga di pukul sebelas malam tiada yang sanggup membuka mata akibat rasa lelah.
Tetapi ada yang berbeda.
Sekitar dua ratus meter dari ujung gang, tampak dua siluet pria dewasa ditemani sepasang kepulan asap dari batang cerutu yang terjepit di sela jari mereka. Keduanya tampak menyandar santai pada halaman rumah, mata menatap tanpa arah yang pasti. Begitu pun dengan jiwa yang juga melayang entah kemana.
Tidak ada pergerakan sungguh, selain sesekali mereka membawa batang cerutunya ke dekat mulut untuk dihisap.
Yang satu, bertubuh tambun dan berpakaian serba hitam. Seperti ninja, sehingga jika suasana benar-benar gelap tanpa penerangan, kau tak akan menyadari kehadiran pria itu. Sedang satunya lagi terbalut sweater hangat berwarna abu-abu dan celana kain chino. Rambut yang mulai memutih disisir rapi ke atas, dengan kacamata bulat bertengger di hidung.
Tidak terlihat seperti orang yang seharusnya tinggal di tempat seperti ini, bukan?
Ya, bahkan warga sekitar juga merasa demikian. Mereka bahkan enggan untuk bertegur sapa dengan tetangga yang baru mereka kenal sekitar empat bulan lalu. Sesuatu mengenai pria itu terasa tidak benar. Selain pembawaannya yang tidak ramah, matanya terlihat penuh kebencian. Seolah ia ingin membunuh siapa pun yang berani menyapanya di pagi hari.
"Aku melihatnya di berita, pria itu."
Yang berkacamata membuka suara. Merasa sudah cukup keheningan menyelimuti mereka.
"Ya, dia tersenyum lebar Bos."
Si berkacamata mendecih, kemudian menggugurkan putung rokoknya begitu saja.
"Aku salah. Kukira ia akan merasakan yang kurasakan. Namun, hidup sungguh tak adil. Sangat mudah bagi orang di kalangan mereka untuk mendapatkan kebahagiaan."
Si tambun hanya mengangguk. Berusaha memahami apa yang pria satunya katakan dan ia tak tahu harus membalas apa.
Hening kembali. Hembusan angin musim dingin membuat kedua pria itu bergidik. Suara burung gagak yang hinggap di atap tiba-tiba terdengar. Membuat suasana di malam itu semakin menusuk ke tulang. Satu hisapan terakhir dilakukan si pria kacamata, sebelum ia menjatuhkan batang rokoknya yang menyala dan menginjak benda tersebut. Menjadikannya tak berbentuk.
"Bos?"
"Aku kehilangan nyawaku tepat ketika benda besar terkutuk itu berdiri tegak. Tegak di atas kebahagiaanku yang terkubur dalam. Mereka kira, aku sudah memaafkan mereka? Manusia naif. Bahkan milyaran dollar uang tak dapat membuat otak mereka berjalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHOLUST
FantasyTidak peduli seberapa dalam rasa cinta mereka, jika semesta memutuskan bahwa kebersamaan adalah mimpi yang mustahil, maka selamanya mereka akan terpisah oleh deburan ombak terakhir yang menyapu pesisir. Payau air laut dan kilauan pasir menjadi batas...