32 | Tears of Sorrow

306 39 60
                                    

"Apakah anda merasa pusing atau mual, Tuan Besar?"

Suara seorang wanita berjas putih membelah keheningan malam di sebuah lantai VIP rumah sakit ternama ibu kota Thailand. Masker hijau menutupi separuh wajah, namun terlihat jelas bahwa wanita itu tengah serius melakukan kegiatannya.

Kedua tangan berbalut sarung tangan latex putih itu bergerak lincah, menutup bekas tusukan pada tangan kiri seorang pria yang kini tampak lesu di tempatnya duduk. Pria itu tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot habis.

Ya, secara harfiah memang darahnya baru saja 'dihisap' dan amat wajar jika ia merasa lesu. Namun, keadaan Zee sedikit mengkhawatirkan di mata sang dokter. Dokter Ling tahu Zeevan Alfred Panich dan kekuatan pria itu. Bos besar Zercore Inc itu tidak akan otomatis merasa lemas hanya karena darahnya baru saja diambil untuk donor.

Segala beban dan kalut yang menggelayuti pundak bak parasit tentu memiliki perannya sendiri. Peran yang ternyata cukup besar.

"Tidak, aku baik."

Jawaban singkat itu menimbulkan anggukan mengerti dari sang dokter. Simbol non-verbal yang sudah sering ia berikan tiap kali berinteraksi dengan sang Chairman Zercore Inc tersebut. Dokter Ling tahu lebih dari apa pun bagaimana menghadapi bos-bos besar Zercore Inc. Ia sudah memegang kendali kesehatan mereka sejak lama.

Mulai dari tuan besar Panich pertama, alias kakek dari Zeevan Alfred Panich, hingga si tuan kecil Panich, alias Charan Albert Panich.

Mereka semua adalah orang baik. Namun, dunia bisnis membentuk para petinggi Panich itu menjadi sosok yang keras dan dingin. Terkecuali Charan tentu saja, bocah kecil yang merupakan miniatur sang ayah tersebut amatlah ceria dan menggemaskan. Namun, dokter Ling yakin beberapa tahun ke depan ia tak akan jauh berbeda dengan sang ayah.

"Lemas, pusing, mual, atau bahkan demam adalah tanda-tanda bahwa tubuh anda sudah tak sanggup lagi memberikan donor. Sebaiknya anda segera memberitahu saya jika itu terjadi, Tuan Besar."

Zee tampak menghela nafasnya perlahan, kemudian mengangguk dan mengusap bekas jarum yang sudah tertutup plester serta kapas. Senyuman terpaksa ia lontarkan, sembari tubuh besarnya beranjak, siap meninggalkan ruangan serba putih yang sejak kemarin menjadi lumayan sering ia kunjungi.

"Tentu saja dokter Ling, terima kasih."

Dan dengan kalimat itu, Zee berbalik untuk meninggalkan ruangan. Mengabaikan bungkukan badan sopan yang diberikan oleh sang dokter. Hal yang akhir-akhir ini selalu ia lakukan. Zee bukanlah seorang pria rendah diri yang takut bertatap mata dengan orang. Namun, entah kenapa ia amat benci bertatapan dengan siapa pun, terlebih orang terdekatnya. Ia memang tengah terpuruk, namun egonya tetaplah tinggi.

Zee tidak butuh belas kasihan.

Karena tanpa ia sadari, rasa kasihan adalah sesuatu yang mungkin akan meruntuhkan segala percaya diri dan keyakinannya kini. Sesuatu yang mampu membuatnya tersedu seperti bola menyedihkan, sedangkan ia harus berdiri tegap di garda terdepan untuk menyelamatkan Nunew.

Pria tampan itu menghela nafas berat, diikuti sebuah debuman pintu ditutup yang seperti meluruhkan dinding kepura-puraan sang chairman. Perlahan Zee memijat keningnya yang seolah tengah dihantam ribuan meriam secara bersamaan, sedang satu tangan lain berpegangan pada dinding.

Ya, ia berbohong.

Kepala sang chairman memang terasa berdenyut tiap kali jarum masuk ke dalam tubuh untuk menyedot darahnya. Namun, tekad yang amat besar mengalahkan semua rasa sakit itu. Hingga ia gagal melihat dirinya yang memang tengah tak baik-baik saja.

Perlahan kaki panjangnya melangkah, menuju ruangan Nunew yang hanya beberapa jengkal dari sana. Kemudian dengan hati-hati ia mendorong pintu tersebut, menampakkan dunianya yang masih terbaring kaku di sana seperti kemarin-kemarin. Ditemani suara teratur dari mesin yang menjadi tanda bahwa Nunewnya masih bertahan, menanti untuk diselamatkan.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang