28 | New York

337 50 87
                                    

Phuket 

Semburat sinar oranye menghiasi langit di sore yang cerah. Deburan ombak di kejauhan bersahutan dengan suara burung-burung camar yang beterbangan di atas batas cakrawala. Buih-buih kecil yang membekas di pesisir terlihat meletup-letup, mengundang sepasang telapak kaki bergerak-gerak pelan karenanya.

Adalah Mean Phiravich, seorang pria tampan kebanggaan Harvard yang kini tengah melambungkan angan sejauh matanya dapat memandang. Raga dan jiwa tak bersatu dalam harmoni. Siapa yang tahu jika kini sukma sang pria tengah berada sejauh ribuan meter di balik permukaan laut. Membayangkan satu sosok manis yang ia rindukan hingga rasanya seperti sekarat.

Masih teringat jelas di benak Mean, kilasan-kilasan kenangan manis yang pernah ia lalui bersama sosok tersebut. Bagaimana mereka tertawa bersama, berenang bersama membelah gelapnya lautan, dan tentu saja hari dimana untuk pertama kali, sang pangeran memberanikan diri mengungkap cinta yang sudah terpendam sejak lama di dalam hati.

Semuanya terlihat jelas, seolah Mean masih berada di sana untuk menyaksikan momen itu untuk kesekian kali. Senyuman Plathius yang entah kenapa terlihat ribuan kali lebih manis dari biasanya, membuat debaran di dalam dada kembali menggila. Anggukan si oranye yang menjadi tanda bahwa ya, ia juga mencintai Mean mampu membuat rasa bahagia menyeruak di tengah gundah yang tengah melanda.

Mean tidak munafik. Ia masih merindukan Plathius.

Ia masih menyesali keputusannya meninggalkan sosok itu di tiap malam yang menjemput, hingga kedua mata tak mampu terpejam menyelami mimpi.

Ya, awalnya ia baik-baik saja. Terbukti dari seberapa jauh ia melangkah dengan ratusan penghargaan yang sudah ia genggam. Mean sempat mengira, bahwa siren yang hanya akan sekali mencinta adalah sebuah mitos. Kebohongan para tetua agar tidak adanya pengkhianatan.

Karena ya lagi-lagi Mean kira, dirinya berhasil hidup dengan baik tanpa Plathius.

Tetapi, melihat bagaimana adiknya kini berbahagia bersama Zee, Mean mulai mempertanyakan sesuatu yang ia percaya.

Debaran di dada memberitahu sang pria akan rasa sakit yang nyatanya belum pernah sembuh. Rasa iri menelusupi batin saat Mean melihat bagaimana Zee akan memeluk erat tubuh mungil sang adik, dan memberi cinta yang tak terbatas untuk si Biru.

Diam-diam Mean membayangkan itu adalah dirinya dan Plathius.

Tentu, profesor Harvard itu tidak bodoh. Ia tahu kemungkinannya hanya nol koma sekian dari seratus persen untuk kembali bersama Plathius. Mean tak yakin sosok itu akan kembali menerimanya atas semua yang dilakukan sang pria di masa lalu. Sang profesor tak yakin Plathius akan memaafkannya setelah malam itu, dimana Mean pergi meninggalkan Vriryn tanpa ucapan selamat tinggal.

Di sisi lain, bertemu sang ayah juga menakutinya.

Mean yakin, Raja lautan itu sudah membenci dirinya tepat di detik sang putra meninggalkan kerajaan untuk tinggal di dunia manusia.

Apakah ia akan diterima kembali ke Vriryn?

Mean meragukan itu.

Hati kecil Mean sejujurnya tengah meronta, memaksa sang pria untuk segera melakukan ritual dan kembali karena petualangannya sudah selesai. Dan daratan bukanlah tempatnya.

Tetapi ratusan ragu semakin hari semakin menumpuk, memenuhi hati dan pikirannya. Sedikit demi sedikit mulai menggeser keyakinan yang sempat singgah di sana.

Katakan ia pengecut.

Namun, setelah semua yang dilaluinya, Mean tentu berhak untuk meragu. Karena jika Newyn adalah anak kesayangan sang ayah, Mervinowyn adalah anak kepercayaan sang Raja. Ia merupakan tangan kanan sang ayah, segala rasa takut dan khawatir yang sang Raja rasakan adalah makanan sehari-hari Mean.

ECHOLUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang