Part 5

11 2 0
                                    


Beberapa hari ini kegiatan rutinku di sore hari bertandang ke tenda mas Seto. Sebuah tenda nasi goreng yang Faaz tunjukan saat mengantarku pulang.

Menu yang sudah kucoba yaitu nasi goreng, kwetiaw dan capcay. Cukup enak, aroma minyak bawang putih dan kemirinya khas. Hari ini rencananya aku akan mencoba nasi gila, penasaran segila apa nasi ini.

"Aku keluar dulu mbak, beli nasi." teriakku berpamitan pada Mbak Sum yang sedang menyiram tanaman.

Jarak dari rumah ke Mas Seto sekitar 500m, lumayan untuk membakar 100 kalori. Walau setelah makan bertambah lagi 500 kalori.

Aku tidak pernah diet dan malas berolahraga. Untung saja badanku tidak cepat melar, maksimal 46kg, masih ideal untuk tinggi 157 cm.

Seperti halnya kemarin, aku menuju tenda mas Seto jam 16.00 WIB supaya belum banyak pembeli yang datang. Ternyata kali ini Mas Seto baru selesai mempersiapkan dagangannya. Aku duduk dibangku samping setelah memesan nasi gila.

"Masbro, biasa ya, nasi gila, yang paling gila pokoknya." tak lama kemudian seorang pembeli memesan menu yang sama denganku. "Tambah nasi goreng satu deh"

"Eh, bang Faaz, darimana? Sengaja kemari?" Mas Seto membuka obrolan

"Sekalian lewat masbro, barusan dari Green Hills. Biasa..." Jawabnya akrab

'Duh, Faaz ternyata, pantas suaranya familiar. Harus gimana coba, nyapa duluan, pura-pura nggak tahu apa nyelinap pergi aja. Ah, tapi tetep bakal ketauan sih.'

Ditengah kegalauan, tercium bau asap rokok menusuk hidungku. "Uhuk uhuk uhuk." Aku terbatuk, hidung ini tak pernah bisa bersahabat dengan asap bernikotin.

"Eh maaf mbaK." Faaz mematikan rokoknya dan memakai helmnya lagi. "Nei? Dah lama dipojokan?" Faaz menyadari keberadaanku dan menghampiri.

"Emm eh elu Faaz" jawabku terbata.

"Masbro ini temen gua yang rumahnya di sebrang taman . Porsinya banyakin ya biar dia cepet gede."

"Siap, bang" mas Seto melihat sekilas ke arahku, lalu melanjutkan pandangannya ke bungkusan nasi yang sudah selesai dibuatnya.

"Nei, gua ikut makan di rumah lu boleh?" Tanya Faaz setelah keresek merah berisi pesanannya sudah berpindah ke tangannya.

"Boleh, tapi gua jalan duluan" ujarku sambil melangkah meninggalkan Faaz yang masih berkutat dengan motornya.

Faaz menemaniku sambil mengendarai motornya dengan kecepatan sangat rendah yang kadang terseok saat mengendalikannya. Seperti biasa dia meracau dengan obrolan randomnya. Tentang aspal yang sudah dibuat sejak 7.000 tahun yang lalu, penghasilan pemilik jalan tol atau sekedar ngegibahin kucing yang lagi berduaan diatas pagar tembok yang kami lewati.

"Assalamualaikum, Mbak Sum. Apa kabar?"

"Waalaikum salam, wah ada bang Faaz, Alhamdulillah baik. Abang gimana kabarnya?" Mbak Sum tampak tersenyum salah tingkah

"Alhamdulillah" Faaz membalas senyumannya

Aku menyodorkan piring dan sendok di meja makan.

"Tau nggak kalo nasi ini ada filosofinya" ujarnya sambil membuka karet bungkus nasi. "Lihat, bahan pelengkap nasi ini banyak banget. Bahkan lebih banyak dari nasi goreng spesial. Ada telor, ayam, baso, sosis, jamur, bawang, belom bumbu-bumbunya kaya saus tiram, minyak wijen, apa lagi?"

"Yey, malah balik nanya" Ujarku sambil memasukan sesendok nasi ke mulut.

"Pokoknya isiannya lebih banyak dari nasi-nasi lain. Tapi orang-orang malah melabeli nasi ini 'gila'. Sama kaya manusia, orang yang banyak kebisaan malah dibilang gila." nadanya meninggi seperti sedang mencurahkan kekesalannya.

"Tapi gak sedikit juga yang menikmati kegilaan nasi ini kan? Atau yang awalnya penasaran dengan label gila-nya malah lanjut menjadi penikmat juga. Gua rasa masing-masing punya segmen pasarnya sendiri. Atau mungkin nasi goreng lebih fokus sama kelebihan yang dia punya, makanya dia bisa terkenal sampai ke mancanegara. Atau orang yang gak suka mengganggap nasi gila terlalu berlebihan, gak konsisten." Timpalku tak kalah panjangnya dengan filosofi yang Faaz paparkan.

"Gimana menurut lu orang yang punya banyak talenta?" suaranya melemah.

"Keren, kalau dia bener-bener menguasainya bisa jadi pretasi. Tapi, cepat atau lambat prestasi itu akan terkalahkan oleh orang yang juga memiliki bakat sama, tapi dia fokus di satu bidang itu aja." ujarku sambil menyuapkan nasi terakhir.

Faaz tampak termenung, sesekali alis tebalnya mengikuti dahinya yang berkerut. Kutinggalkan dia ke dapur untuk membuat teh dan menyetel gramofon milik Yangti. Alunan musik mulai memenuhi ruangan mencairkan suasana.

Faaz beranjak dari kursinya membawa piring ke dapur. "Gak usah dicuci bang, biar sama Mbak saja." Ujar Mbak Sum.

"Makasih mbak. Oya tadi saya belikan nasi goreng, dimakan ya" seperti biasa kalau Faaz berbicara dengan Mbak Sum pasti sambil senyum.

"Mbaak, aku juga udah pisahin nasi gila buat mbak. Awas loh kalo ga dimakan." Ucapku tak mau kalah.

"Hush, yang sopan kalo ngomong sama orang yang lebih tua. Nggak usah teriak-teriak." Hardiknya memasang wajah serius.

"Kalo sama Lu gua boleh teriak?" ujarku setengah berteriak.

"Emang umur lu berapa heh? berani-beraninya." serunya sambil mengangkat memicingkan matanya. "Gua 24, lu paling baru 19 kan?"

Tebakannya benar tahun ini aku 19 tahun. Wajahnya memang tidak menunjukan kalau kami terpaut lima tahun tetapi tingkah lakunya kadang memang seperti bocah. "Kok kelakuan lu ga sedewasa umur lu?"

Faaz menghempaskan tubuhnya ke sofa berwarna biru dan menepuk sisi lain dari sofa yang dia duduki "sini, gua mau ngomong."

Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya dengan posisi menyandar ke armrest sofa dan menghadap ke arah Faaz.

"Serius amat, apaan sih?" 

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang