Part 9

11 3 0
                                    


Pagi ini aku bangun lebih cepat dari Faaz, sengaja kubiarkan dia terlelap sementara aku berbenah.

Sarapan sudah diantarkan ke kamar. Aku keluar untuk menikmati matahari pagi yang hangat dan pemandangan yang luar biasa ditemani secangkir kopi panas.

"Pagi" sapaan hangat yang kukenal. Faaz sudah bangun, tangannya membelai lembut kepalaku.

"Pagii, coffee or tea?" Aku menengadah dan menariknya untuk duduk disebelahku.

Momen yang sempurna, tempat yang nyaman, view indah bersama seseorang yang istimewa. Enggan untuk mengakhirinya.

"Masih betah? Mau extend?" tanya Faaz seolah dia sedang membaca pikiranku.

"Enggak usah. lu kan lagi gak fit. Lain kali aja." Sungguh aku menyesali jawabanku. Neira bego, kapan lagi kamu bisa menikmati momen spesial seperti ini.

"Oke."

"Faaz, terus berjuang ya. Jadilah apapun yang lu mau, lakuin apapun yang buat lu bahagia."

"Gua pasti berusaha, temenin gua ya?"

Aku mengangguk lalu mengepalkan tangan memberi semangat "fighting!"

Faaz tersenyum lalu menyandarkan kepalanya dibahuku. Degup jantungku lebih kencang dari biasanya. Entahlah, sejak semalam ada perasaan nyaman sekaligus menggelitik hatiku saat didekatnya. 

Sudah waktunya checkout, aku dan Faaz menuju lobby. Tidak terlalu banyak pengunjung disana, mungkin karena weekday.

Aku mengembalikan kunci sementara Faaz dihampiri oleh manager dan mengajaknya swafoto. Lalu beberapa karyawan lain mengikuti jejak atasannya.

Aku menawarkan diri untuk menjadi fotografer dadakan agar mereka semua bisa berfoto bersama. Kupikir mungkin Faaz kenal mereka.

Perjalanan pulang lancar terkendali. Sampai akhirnya kami sampai di depan rumah.

"Makasih Faaz, liburan yang sangat menyenangkan."

"Iya, next time kita eksplor tempat lain, masih banyak tempat bagus di sini"

"Sippp, lain kali enggak usah pakai kejutan-kejutan segala biar well prepared. Oh iya, lu kenal orang-orang di hotel tadi?"

"Enggak." jawab Faaz singkat.

"Ngapain foto bareng?"

"Ya, buat kenang-kenangan." katanya dengan santai.

Aku mengernyitkan dahi. "Emangnya lu siapa? harus banget ya foto bareng buat kenang-kenangan. Aneh!"

"Yang aneh justru lu Nei, bisa-bisanya lu gak tau gua. Coba lu ketik nama gua di google."

"Lu tau sendiri, gua gede di Laos. Disana tuh kaya Indonesia tahun 80an. Informasi pribadi terbatas, jadi gua gak biasa kaya gitu. Lagian apa susahnya sih, lu aja yang cerita."

"Gak deh, ntar gua dibilang sombong."

Aku meraih hp dari dalam ransel. Artikel-artikel bermunculan saat kuketik namanya.

'Faaz. Dikenal sebagai idol berkebangsaan Indonesia. Mengawali karir sebagai penyanyi, penulis lagu dan aktor. Faaz merilis debut albumnya "paradigma" tahun 2017 dengan lagu bertajuk "Bila" yang sukses meraih 2 penghargaan sebagai penyanyi pendatang baru terbaik, Album terbaik di ajang IMA Awards.'

"No way, ini bukan lu kan?" Aku sangsi dengan informasi yang kudapat di internet tentang Faaz dan memperlihatkan sebuah foto yang muncul dilayar hp.

"Itu gua, 18 kilogram yang lalu, haha. Sejak berobat, berat badan gua naik terus. Obatnya bikin otak gua gak mendeteksi rasa kenyang." Tawanya tampak terpaksa lalu terdiam.

Akupun masih melongo, kembali berusaha mencerna fakta yang baru kudapatkan. Entah kenapa hidupnya selalu penuh kejutan.

"Nanti gua cerita semua, sekarang lu istirahat dulu. Gua juga capek udah lama nggak nyetir." Faaz memandangku, tampaknya dia belum pulih benar, jadi aku tak bisa memaksanya untuk bercerita sekarang juga.

"Janji?" aku mengacungkan jari kelingking

"Janji!" Faaz membalas dengan menautkan jari kelingkingnya

"Oke, hati-hati dijalan. Kabarin kalo sudah sampai." Aku turun dari mobil dan menunggu hingga mobil Faaz tak terlihat lagi.

Mbak Sum menyambut kepulanganku. "Non, gimana jalan-jalannya?"

"Mbak tau dia?" Aku tak menghiraukan pertanyaannya

"Taulah neng, orang se-Indonesia mana ada yang gak tau bang Faaz." Ujarnya yakin

"Aku nggak tahu, Kok mbak nggak pernah cerita?" tanyaku menginterogasinya.

 "Oh iya, waktu bang Faaz pertama kali kesini, bang Faaz minta jangan cerita apa-apa ke non Neira." Katanya sambil membantu membawakan ranselku.

Mungkin faaz seperti itu agar aku tidak berubah, supaya aku tetap memperlakukan dia sebagai sosok Faazri Alfath, bukan Faaz sang idola. Mungkin dia membutuhkan kehidupan normal seperti manusia biasa yang sudah terenggut sejak tujuh tahun lalu.

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang