Part 16

8 3 0
                                    


Kuminta Som menemani kami makan siang tapi dia menolak karena sudah ada janji. Akhirnya kuajak Faaz ke café didepan That Dam Stupa, salah satu bangunan bersejarah di Vientiane.

"Nei, aku sudah tahu yang kamu alami dari Mbak Sum. Malam itu, aku nyusul kamu ke bandara, tapi aku terlambat. Lalu beberapa kali aku ke rumah kamu tapi Mbak Sum enggak ada, digantikan oleh ART lain. Akhirnya minggu lalu aku ketemu Mbak Sum, itupun nggak sengaja dan dia cerita tentang kejadian malam ketika kamu pergi. Makanya sekarang aku bisa sampai disini. Nei, kenapa kamu gak cerita? Kenapa kamu menghilang?" Raut wajahnya tampak khawatir.

Air mataku menetes tak tertahan. Semua memory menyakitkan kembali bermunculan di kepalaku. Aku menangis tersedu, Faaz berpindah duduk disebelahku untuk menenangkan. Tapi tangisku semakin menjadi-jadi, sudah lama aku berusaha tegar memendam semua kepedihan, kesakitan dan kekecewaan ini sendiri. Rasanya aku ingin menumpahkan semuanya saat ini.

Orang-orang disekitar mulai melihat ke arah kami. Faaz memberi isyarat kalau semua baik-baik saja sambil tetap berusaha menenangkanku.

Setelah tangisku mereda, Faaz memberi segelas air putih untuk kuminum. Aku menarik nafas panjang, masih ada sisa sedu sedannya.

Faaz membantu membersihkan air mata dan hendak membersihkan ingusku. Aku merebut tisunya, malu kalau sampai itu terjadi, emang dia gak jijik? Aku mulai merapihkan penampilanku, aku gak mau Faaz melihatku seperti ini.

"Udah puas nangisnya?" tanya Faaz lembut

"Jangan deket-deket, malu. Keliatan banget jeleknya" kupalingkan mukaku yang masih memerah. Entah bagaimana rupanya setelah tangisku reda, namun yang kurasakan hatiku lebih lega setelah itu.

"Ini kalau bukan pacar orang udah gua peluk dari tadi." Faaz berbicara sendiri.

"Kamu beneran pacaran sama cowok tadi?" tanyanya lagi.

"Iya bener" aku menjawab terbata

"Kayanya ada yang aneh." Faaz menaikan alis kirinya.

"Aneh gimana?" 

"Tadi pas aku baru datang, dia yang antar ke ruangan kamu. Trus dia ngegodain pake kedip-kedipin mata segala." cerita Faaz mengingatkanku pada Som yang memang kerap menggoda pria tampan. 'OMG, som. Gak bisa lihat cowok bening langsung dia godain. Gagal deh rencana gua.'

"Emm kamunya aja kali kegeeran." aku berargumen mencoba menutupi hal itu.

"Tadi waktu kamu keluar ruangan, aku sempet nanya Som, bener gak kalian pacaran, terus dia jawab 'No, I am gay'." Faaz memperagakan saat som menjawab pertanyaannya.

"Aku ke toilet dulu." Buru-buru aku menuju toilet meninggalkan Faaz yang menertawakan kekonyolanku.

Neira, stupid. Ngapain juga ngaku-ngaku pacaran sama cowok gay trus gak pake janjian dulu.

Akhirnya kuputuskan untuk mengakui dan menceritakan semua kepada Faaz. Bahwa Som bukan pacarku, bagaimana keadaan aku saat ini, tuntutan yang kuhadapi dari perusahaan dan bagaimana usahaku menanganinya, semua tanpa terlewatkan satu momenpun.

"Maaf Nei, Aku enggak nemenin kamu disaat kamu melewati semuanya, padahal disaat aku terpuruk kamu selalu ada." Faaz meraih tanganku menautkan jarinya disela-sela jariku. Sesekali dia mendekatkan tanganku ke hidungnya, entahlah hal ini memang sudah menjadi kebiasaannya. "Pokoknya mulai sekarang, jangan pernah lagi tidak melibatkan aku dihidup kamu, Nei."

"Emang kamu siapa berhak ngatur-ngatur aku?" 

"Aku calon imam kamu." Faaz tersenyum menggodaku.

Aku merasakan wajahku memerah, tiba-tiba terasa panas, bahkan ac tidak cukup membantu mendinginkan.

"Mulut kamu manis banget. Enggak akan mempan sama aku. Semua cewek kamu gombalin, peluk-pelukin, udah biasa."

Faaz tersenyum "Bagus dong kalau udah biasa, jadi kamu nggak akan cemburu. Kamu tahu sudah tugasku untuk membangun chemistry sama lawan main. lagipula aku cuma gombalin kamu aja, sama buat ngebangun chemistry juga, chemistry sama pasangan hidup aku kelak."

"Apaan sih." Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya.

"Jangan dilepasin, masih kangen."

Aku tersenyum melihatnya, karena akupun merasakan hal yang sama, sangat rindu. 

Dia masih seperti Faaz yang kukenal dulu, selain fisiknya, yang lain tidak ada yang berubah. Masih dengan senyum yang sama, hanya saja sorot matanya lebih teduh, membuat aku betah berlama-lama menatapnya. 

"Kamu gak pengen nanya kabar aku atau apa gitu?"

"Kelihatannya keadaan kamu baik-baik aja. Lagipula kalau aku ada pertanyaan tentang kamu tinggal browsing, langsung muncul jawabannya."

"Ya nggak semua ada di internet juga. Belum tentu beritanya benar." Faaz tampak kesal dengan jawabanku. Bibirnya sedikit manyun, tampak menggemaskan.

"Kan kamu yang ngajarin." Aku sengaja menggodanya. Faaz menarik nafas dalam, seolah sedang menghadapi cobaan yang menguji kesabarannya.

"Banyak banget yang pengen aku tanya sama kamu, tapi nanti. Masih gak nyangka, tapi yang pasti aku senang sekali kamu ada disini, Faaz." 

Senyumnya kembali mengembang setelah mengetahui kedatangannya pun sangatlah berarti. 

Harus Ku MilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang